Pandangan Jujur Saya tentang Yeni Rosa Damayanti, David Savage, dan Aktivis ProDEM Anti-Integrasi

 


Jujur saja, saya kira itu gambaran idealisme yang polos, dan sayangnya—naif. Mereka datang dari Jakarta, baru saja merasakan euforia Reformasi, merasa telah menjatuhkan rezim otoriter dan kini merasa punya misi membela siapa saja yang mengaku tertindas. Tapi yang mereka tidak pahami adalah: tidak semua yang melawan pemerintah adalah otomatis benar. Dan tidak semua yang mengangkat senjata adalah pejuang kebebasan.

Yeni Rosa dan kawan-kawannya mungkin melihat Falintil sebagai simbol perlawanan rakyat kecil, sebagai “Che Guevara-nya” Timor. Tapi mereka tidak tahu, atau tidak mau tahu, bahwa sebagian dari orang-orang yang mereka bela itu dulunya adalah pelaku kekejaman terhadap warga sipil, termasuk terhadap sesama orang Timor. Mereka hanya melihat baju loreng, senyum simpatik, dan narasi tentang "penjajahan"—tanpa pernah menyentuh kompleksitas sejarah lokal kami yang penuh darah dan pengkhianatan.

Ketika saya melihat dia menyerahkan jaket almamater UI itu di televisi, jujur, saya merasa seperti melihat seorang anak yang baru belajar sejarah dari buku tipis dan langsung memutuskan siapa yang jahat dan siapa yang benar. Di pikirannya mungkin itu adalah aksi simbolik: bahwa mahasiswa Indonesia berdiri bersama “rakyat Timor.” Tapi bagi kami yang benar-benar lahir dan dibesarkan di tanah ini—dan tahu betapa rumit dan menyakitkannya luka antar saudara—aksi itu terasa seperti tamparan.

Dia mungkin berpikir itu adalah solidaritas. Tapi dari sudut pandang kami para Integrasionis, itu adalah bentuk ketidaktahuan yang dipoles dengan semangat heroisme murahan. Karena solidaritas sejati seharusnya lahir dari pemahaman, bukan hanya dari romantisme perjuangan.

Saya sesalkan bahwa ia dan kawan-kawannya datang ke Timor Timur seperti turis moral: melihat konflik sebagai panggung drama politik, dan mereka hadir sebagai pemeran tambahan yang ingin memberi makna bagi hidup mereka—tanpa benar-benar tahu siapa yang duduk di kursi korban, siapa yang dulu jadi algojo, dan siapa yang berusaha membangun kembali reruntuhan.

Saya tidak membencinya. Saya justru kasihan. Karena keberanian itu, meskipun tulus, telah dimanfaatkan oleh mereka yang jauh lebih lihai memainkan narasi. Dan Yeni, seperti banyak aktivis lainnya, adalah idealis yang terseret dalam arus sejarah yang ia kira pahit-manis perjuangan, padahal di dalamnya tersembunyi banyak kepentingan, banyak manipulasi, dan banyak dusta.

Tentang David Savage, saya melihat tipikal orang asing yang datang ke Timor bukan untuk memahami, tapi untuk menghakimi. Dalam banyak pendapatnya, dia selalu memulai narasi dari 7 Desember 1975—seolah-olah sejarah Timor baru dimulai ketika Indonesia mendarat. Dia tidak pernah menulis tentang kekosongan kekuasaan setelah Portugal kabur, atau tentang bagaimana FRETILIN membantai lawan-lawannya, menyiksa rakyatnya sendiri, dan menjadikan ideologi sebagai alasan untuk teror. Bagi saya, David Savage bukan saksi sejarah, tapi pemirsa sepihak yang masuk ke tengah film dan langsung menunjuk siapa penjahatnya tanpa pernah menonton adegan sebelumnya. Ia menulis dengan gaya moralis, tapi kosong dari empati terhadap kami yang kehilangan keluarga karena kekejaman FRETILIN. Ia adalah contoh sempurna dari bagaimana “solidaritas internasional” bisa berubah menjadi alat propaganda, ketika seseorang lebih sibuk mencari sensasi dan panggung moral daripada menggali kebenaran yang utuh dan menyeluruh.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama