1. Memperbincangkan sejarah Timor Timur terkini yang dalam narasi sejarah resmi Indonesia dikenal sebagai propinsi termuda, propinsi ke-27 bukanlah sebuah usaha yang populer dan barangkali tidak menarik karena dianggap sebagai “angin lalu”, sudah usai, bahkan sudah dilupakan. Kondisi ini sebenarnya menegaskan bahwa tidak sedikit yang “amnesia” dimana wilayah yang kini bernama Timor Leste adalah pernah memiliki masa lalu dan sejarah bersama Indonesia, baik soal perdagangan, adat istiadat, politik, dan beragam perjalanan interaksi kehidupan lainnya dalam sebuah regional yang sama, yaitu di Asia Tenggara.
2. Disadari bahwa mereka terkait dengan kita, begitu banyak, bahkan, untuk penyebutannya-pun seringkali belum baku dan terkesan tumpang tindih karena belum banyak diketahui. Memahami konteks sejarah secara sederhana melalui penyebutan istilah-nya, maka muncullah sebuah perbedaan-perbedaan. Untuk penyebutan “Timor Timur” merujuk kepada kondisi mulai 1976 hingga 1999. Sebelum tahun 1976, disebut “Timor Portugis”, dan saat dibawah otoritas PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), maka dikenal sebagai “East Timor”. Adapun istilah “Timor Leste”, lazim dikenal luas namanya setelah wilayah tersebut menjadi sebuah negara sejak 20 Mei 2002. Walaupun maknanya serupa, yaitu “bagian Timur dalam Pulau Timor”, namun kondisi yang menaunginya berbeda-beda. “Atmosfer” setiap jamannya memiliki karakter tersendiri.
3. Dalam tradisi sejarah moderen, Timor Timur hingga 1975 berstatus sebagai daerah jajahan negara Eropa, yaitu Portugal. Bagi orang Indonesia yang umumnya mengeyam Pendidikan Indonesia, umumnya memahami sebuah penjajahan bangsa Eropa, melalui penjajahan dengan pola yang banyak diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di sekolah, khususnya yaitu penjajahan Belanda. Keduanya (Portugal dan Belanda), sama-sama berasal dari regional Eropa, namun cara mereka melakukan penjajahan amatlah berbeda. Portugal saat menjajah “Timor sebelah Timur” selama 500 tahun menerapkan metode asimilasi dalam menundukkan dan melanggengkan penguasaannya. Beberapa bentuknya antara lain ialah suku asli Timor ini kemudian membaur dalam waktu yang amat panjang berupa kawin campur, di-Portugal-kan ke-agamaan-nya dilengkap-lekatkan melalui pencantuman nama baptis ke warga Timor. Asimilasi dengan contoh-contoh tersebut menghasilkan sebuah pemandangan dimana warga Timor merasa menjadi bagian dari Portugal. Mereka merasa dirinya sebagai “orang Portugal”, namun kenyataannya tidak, khususnya soal strata atau lapisan sosial. Portugal tetap menjadi “patron” dan orang Timor sebagai “klien”. Hingga kini, rasa kekaguman, pembelaan, dan kebanggaan akan Portugal terasa begitu kental, sekaligua sisi inferior mereka (orang Timor) seakan abadi.
4. Diberbagai forum diskusi online media sosial, dengan mudah sekali ditemukan komentar warga Timor Leste yang “meninggikan, memuliakan, dan membela Portugal” disaat yang bersamaan juga menutup mata tindak tanduk Portugal ketika menjajah “sisi Timur Pulau Timor”, dan sebaliknya tak jarang dimunculkan secara jelas bahwa keberadaan Indonesia selama 24 tahun di Timor Leste digambarkan sekaligus diyakini sebagai sebuah kisah terburuk dalam seluruh perjalanan sejarah bangsanya. Bahkan, sebuah lembaga di Timor Leste, mampu membuat kisah “masuk, berada, dan keluar-nya Indonesia” dari “Pulau Timor sebelah Timur”, menjadi buku dengan jumlah tak kurang dari 2500 halaman berjudul “Chega!” Jika 24 tahun (anggap saja ¼ abad), maka dalam kurun 1 abad, seharusnya bisa menghasilkan tulisan kisah sejarah sebanyak 10.000 halaman. Oleh karenanya, berkaca kepada karya “Chega!” ini, maka sudah seharusnya kisah penjajahan Portugal di Timor bisa menghasilkan buku dengan jumlah halaman sebanyak 50.000. Mereka mampu membuat buku “deretan dosa-dosa Indonesia” dijaman integrasi selama 24 tahun, namun buku serupa tentang “deretan dosa-dosa Portugal” dijaman penjajahan-nya selama 500 tahun hingga wilayah “sebelah Timur Pulau Timor” menjadi negara sendiri lepas yang dari Indonesia sejak 1999, tak kunjung diproduksi.
5. Secara de facto, eksistensi Portugal berakhir pada tahun 1975 ketika penjajah ini “lari dari tanggung jawab”. Bagaimana tidak, wilayah yang dikuasai selama 500 tahun ditinggalkan begitu saja dalam keadaan konflik bersenjata antar sesama orang Timor. Awalnya, diakhir Agustus 1975, Portugal “kabur”, meninggalkan daratan Timor Portugis menuju Pulau Atauro/Pulau Kambing lalu tak lama kemudian ke Australia dan tak pernah kembali lagi hingga 24 tahun kemudian setelah Jajak Pendapat usai. Kondisi Timor Portugis kala itu sudah barang tentu tanpa kepastian hukum, siapa yang kuat maka dia-lah yang berkuasa. Kondisi “chaos” ini kemudian mematangkan polarisasi 2 kubu besar yang kemudian terus menerus berseteru, yakni mereka yang inginkan integrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan yang anti-integrasi (ingin merdeka sendiri).
6. Kisah perseteruan ini dapat ditarik satu tahun sebelumnya, ketika “angin perubahan” terjadi di Portugal. Revolusi Bunga menghasilkan kebijakan baru Portugal untuk melepaskan wilayah jajahannya (dekolonisasi), termasuk Timor Portugis, sebuah wilayah yang kurang diperhatikan layaknya jajahan Portugal lainnya seperti Mozambik dan Angola. Oleh karena memang letaknya yang jauh dari negeri induknya, seringkali diyakini bahwa Timor Portugis dijadikan “tempat pembuangan” bagi prajurit-prajurit bermasalah. Di wilayah inilah, tak lama ide dekolonisasi digulirkan, dalam waktu yang berdekatan muncul-lah 5 partai sebagai corong aspirasi rakyat Timor. Dinamika kepartaian tak lepas dari dimensi internasional Perang Dingin kala itu, dan secara bertahap juga cepat mereka yang anti-komunis memiliki pendukung yang lebih dominan. Indonesia yang awalnya secara tertutup, kemudian secara terbuka mendukung mereka yang anti-komunis. Kekuatan politik dalam haluan ini selanjutnya menginginkan penggabungan wilayah Timor Portugis kepangkuan ibu pertiwi Indonesia.
7. Dengan beberapa alasan seperti tentang kesamaan budaya, pengalaman sejarah, dan Timor Portugis yang belum siap menjadi negara baru tersendiri, maka Partai Apodeti, UDT, KOTA, dan Trabalista menyatakan petisi integrasi kepada NKRI setelah sebelumnya perang terbuka dengan Fretilin yang lebih dominan karena didukung tentara Portugal sekaligus peralatan perangnya. Fretilin yang bernuansa komunis ini kemudian harus berhadapan dengan kuatnya Pasukan Gabungan keempat partai tersebut awalnya bersama pasukan sukarelawan Indonesia yang melegenda ber-title “Blue Jeans Soldier”, pada triwulan ketiga tahun 1975. Tentara legendaris ini sebenarnya ialah ratusan tentara reguler pasukan elit Angkatan Darat ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang ditugaskan untuk menggalang kekuatan rakyat yang anti Fretilin dengan melatihnya diwilayah perbatasan. Pasukan yang kini dikenal sebagai Kopassus melakoni misi “intelejen dengan perang terbatas”, dan ada pula yang lebih awal masuk ke Timor Portugis yang mengkhususkan misi intelejen guna memetakan “jalur politik dan kekuatan-kekuatannya”. Sedikit yang mengetahui bahwa dijaman Orde Baru, sebagai wujud kewaspadaan dan membaca arah politik wilayah tetangga yang bergejolak, Indonesia telah mengirim personil intelejen tak lama Revolusi Bunga tersebut meletus pada April 1974. Mereka menjajaki kesemua kekuatan rakyat Timor Portugis melalui partai-partai yang menanunginya. “Gayung Bersambut”, ternyata terdapat kekuatan rakyat yang memilih “hidup merdeka bersama Indonesia” disamping mereka yang masih tetap “diketiak Portugal”, atau yang ingin “merdeka sendiri” langsung dari Portugal. Selanjutnya bersama Portugal dan Indonesia, kekuatan ini secara bertahap dan berproses melakukan perundingan. Diplomasi antar mereka ini dilakukan dalam dalam tahun 1975, namun belum ada hasil yang dapat memuaskan kesemua pihak yang sedang bertikai.
8. Ketika akhirnya kekuatan rakyat Timor Portugis berkutub secara keras: “Merdeka Bersama Indonesia” versus “Merdeka Sendiri”, maka solusi tidak lagi bisa di atas meja perundingan dan perang besar tak terelakan lagi. Setelah menerima petisi integrasi dan dikumandangkannya Proklamasi Balibo pada 30 Nopember 1975 atau yang sering dikenal Deklarasi Balibo, sebagai bentuk aksi tandingan dari “proklamasi sepihak Fretilin” 2 hari sebelumnya, maka Indonesia masuk ke Timor Portugis dengan kekuatan “bukan kaleng-kaleng” dari segi jumlah ataupun kualifikasi prajuritnya.
9. Tanggal yang kemudian bersejarah, 7 Desember 1975, pasukan reguler tentara Indonesia memasuki wilayah Timor Portugis tepat dijantung ibu kota turun dari langit menggunakan pesawat Herkules, dan beberapa jam sebelumnya dari lautan sudah menembaki sisi pantai sebagai “awalan” untuk nantinya menurunkan pasukan marinir Indonesia. Sejak matahari terbit tembak menembak terjadi melawan kekuatan Falintil (sayap militer partai Fretilin) hingga siang hari, dimana Pasukan Gabungan menguasai Dili, pusat ibu kota. Dalam 3 tahun ke depan, Operasi Seroja bergulir. Kekuatan Falintil dan milisinya yang berjumlah 20-30 rb menahan gempuran Pasukan Gabungan dengan jumlah pasukan yang relatif sama.
10. Tahun 1976, Timor Portugis resmi integrasi dengan NKRI dan menjadi propinsi ke-27. Pasukan ABRI dan partisan yang berasal dari keempat partai pro-integrasi kemudian ada yang bergabung menjadi anggota ABRI, hansip, menjabat dari tingkat rendah hingga tinggi direpublik ini, dan lain sebagainya. Secara militer, ABRI berhasil menekan, memburu, serta “melokalisasi” ke gunung dan hutan semua sisa kekuatan Falintil yang disebut sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) Fretilin, dengan tujuan agar tidak mengganggu proses pembangunan di wilayah propinsi termuda ini.
11. Selama 3 tahun, kekuatan Fretilin menurun drastis. Mereka nyaris kalah, banyak anggotanya yang tewas, ditangkap, dan menyerah. ABRI menyatakan Operasi Seroja selesai karena pentolan utama-nya, yaitu Nicolao Lobato alias “Kepala Batu” tewas pada 31 Desember 1978. Walaupun pemimpin tertinggi mereka gugur, perlawanan terhadap dominasi militer Indonesia terus dilakukan, namun dengan cara bergerilya dan diikuti dengan sikap “meninggalkan aroma komunis”. Dengan cepat, apa yang disebut “Perjuangan Rakyat Timor Lorosa” mendapat simpati dan dukungan gereja. Adapun GPK yang “turun gunung” dan insyaf maka akan dibina. Mereka ini bukan hanya bisa beraktifitas normal tapi juga bisa mendapat jabatan, yang utama ialah bersedia membangun Timor Timur dijaman intergrasi.
12. Hingga tahun 1989, Timor Timur dijadikan wilayah tertutup bagi kehadiran pihak asing, baik itu dari dalam negeri apalagi dari luar negeri. Salah satu alasannya ialah wilayah tersebut dalam kondisi perang, yaitu sebuah perang tersembunyi melawan kekuatan komunis. Dunia internasional mengutuk perang pagi hari 7 Desember 1975 dan PBB mengeluarkan resolusi agar “Militer Indonesia” menarik diri dari Timor Portugis, bukan hanya sekali, akan tetapi rentetan resolusi hingga penghujung tahun 1980-an. Namun, dominasi Amerika Serikat dan sekutunya yang merupakan blok kuat dalam Perang Dingin melawan Unisoviet yang komunis, terlihat mampu meredam “gejolak diplomasi” di tingkat PBB. Sudah barang tentu, tidak lepas atas bantuan Indonesia didalam wilayah Timor Timur yang di-isolasi-nya hingga 1989, juga digencarkan pembangunan diberbagai bidang yang secara signifikan jauh lebih baik dibanding kala Portugal menjajahnya selama 500 tahun. Dari sini juga, dunia mulai menilai positif “aksi pembangunan” Orde Baru, hal ini dapat ditelusuri dengan adanya peningkatan dukungan dari berbagai negara pada voting-voting dalam sidang PBB soal Timor Timur atau Timor Portugis. Indonesia merasa percaya diri, dunia terlihat berpihak kepadanya dan dorongan dalam negeri agar Timor Timur diperlakuakan sama dengan propinsi lainnya, dikabulkan Presiden Suharto. Tahun 1989 propinsi Timor Timur dibuka layaknya propinsi lainnya di NKRI, termasuk pula kebebasan berekspresi dalam bentuk demonstrasi. Ditahun ini pula, Paus Paulus datang ke Timor Timur, demonstrasi agar Indonesia angkat kaki terjadi dalam event keagamaan tersebut. Kerasnya militer kala itu, dapat segera membungkamnya.
13. Begitupula ditahun-tahun berikutnya, bukan hanya di Timor Timur, namun diseluruh wilayah Indonesia. Kondisi berubah ketika Perang Dingin mulai usai di Eropa Timur, merambah ke Barat lalu ke seluruh dunia. Sekira setahun kemudian, dengan desain yang rapi, wartawan luar negeri mampu memproduksi video demostrasi berdarah dipekuburan Santa Cruz. Internasionalisasi kasus Timor Timur mendapatkan momentum yang tepat disamping mendapat dukungan sepenuhnya dari gerakan mahasiswa-pelajar Timor hasil didikan sekolah Indonesia jaman integrasi. Mereka yang anti-integrasi ini terlihat semakin percaya diri, mencari suaka politik diberbagai kedutaan besar negara asing dan ada yang berhasil didudukinya, bahkan demonstrasi mengepung Presiden Suharto hingga bisa memukul bagian belakang beliau dengan gulungan kertas di Jerman diusakan dengan gigih oleh mereka. Golongan Timor terpelajar ini kemudian viral dimedia internasional, dan tren positif dukungan untuk Indonesia selama ini, kemudian segera menurun. Secara militer, Falintil memang amat lemah dan seorang petinggi militer Indonesia menyebut mereka seperti “gatal diketiak”, namun dengan menyusupnya wartawan luar negeri hingga mahasiswa Indonesia kedalam sarang mereka, menjadi asupan energi potensial untuk menarik simpati internasional juga Indonesia, terutama mereka yang inginkan demokrasi, anti-Suharto, dan “hilangkan beban (Timor Timur)”.
14. Timor Timur sejak 1976 hingga 1999 adalah “propinsi patungan” dari sumber-sumber kekuatan ekonomi Indonesia. Bagaimana tidak, propinsi termuda ini hanya memiliki 3% PDA (Pendapatan Asli Daerah), dan usaha percepatan pembangunan untuk mengejar ketertinggalannya dari ke-26 propinsi lainnya, negara menyumbang “dana penghidupan propinsi” sebesar 97% dari keseluruhan total 100% APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Propinsi Timor Timur. Dana yang terasa lebih “mewah” dibanding propinsi lainnya itu berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Ketika Indonesia dilanda krisis moneter dunia yang berdampak kepada beban negara semakin berat secara ekonomi, Timor Timur tetap mendapat tempat di republik ini. Hingga diakhir Presiden Suharto berkuasa pada 21 Mei 1998, Timor Timur berdiri kokoh sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI, propinsi ke-27 yang mendapat banyak dan terus menerus disubsidi kas negara.
15. Oleh karena itu, media-media dijaman Orde Baru ramai sarkas, menyindir Timor Timur sebagai “anak emas”, rezim ini “me-nomor-satu-kan-nya”. Lihatlah seperti dengan didirikannya Cristo Rei yang saat diresmikan tahun 1996 merupakan patung Yesus terbesar kedua didunia setelah Brazil. Sebuah penghargaan tinggi dari negara yang mayoritas Islam untuk sebuah propinsi baru dengan penduduk dominan beragama Katolik. Hingga kini, satu-satunya presiden muslim diseluruh dunia yang menghadiahkan patung Yesus yang berukuran amat besar hanya-lah Suharto. Selanjutnya, Indonesia mulai memproduksi mobil nasional bernama Timor. Tak berlebihan, ini layaknya “politik mercusuar negara” agar dunia dapat meyakini bahwa Timor Timur begitu diperhatikan oleh negara, dan disaat yang bersamaan Menlu Ali Alatas menyebut Timor Timur seperti “kerikil didalam sepatu”, walaupun kecil tapi mengganggu jalan-nya diplomasi Indonesia dipanggung internasional.
16. Dunia internasional sepertinya menghela nafas saat gerakan Reformasi mahasiswa Indonesia mampu menurunkan Suharto “The Smiling General”. B.J. Habibi sang pengganti, beliau adalah presiden pertama yang non-Jawa, mulai menjajaki era reformasi ditahun 1998 itu juga dan menawarkan rasa demokrasi yang benar-benar baru jauh berbanding terbalik dengan Orde Baru. Didalam negeri, Timor Timur yang sudah dirasa sebagai “beban”, sudah waktunya dilepaskan agar Indonesia bisa berjalan tegak di kancah dunia dan tidak tertatih menapaki perbaikan ekonomi nasionalnya. Diluar negeri, setelah Perang Dingin usai, barisan sekutu yang selama ini “tegak pasang badan” terhadap soal Timor Timur, kemudian mundur teratur dan berbalik arah menentang intervensi Indonesia selama 24 tahun belakangan dibekas jajahan Portugal tersebut. Salah satu diantara negara yang dimaksud ialah Australia, yang dikemudian hari hadir bak “malaikat tak bersayap” bagi Timor Timur, dan menjadi “tetangga yang buruk” karena tidak sedikit pernyataannya dan berita soal Timor Timur dimata dunia tidak sesuai fakta, berlebihan, juga hoax.
17. Saat itu, dikancah internasional yang sudah berubah orientasinya menjadi fokus kasus pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), Indonesia benar-benar tersudut, dan ancaman disintegrasi isu separatisme menguat kembali sekaligus semakin terasa “seksi”. Melirik sejarah Kesultanan Utsmaniyah yang wilayahnya menjadi beberapa negara kecil di Eropa dan juga Yugoslavia di Balkan yang sudah terpecah belah negaranya, memunculkan isu “Balkanisasi Indonesia” yang merangkak semakin kuat. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) minta referendum juga, RMS (Republik Maluku selatan) memanas, begitupula OPM (Organisasi Papua Merdeka). Disaat yang bersamaan, perbaikan ekonomi dalam negeri menjadi sebuah tuntutan maha-darurat layaknya “keharusan sejarah” agar Indonesia berdemokrasi via reformasi, tak ayal keputusan besar diambil. “Lebih baik hilang ayam satu ekor, daripada hilang ayam satu kandang” adalah sebuah ungkapan yang bisa melukiskan Indonesia saat menentukan keputusan jajak pendapat di Timor Timur 1999. Dibawah Habibi, inilah satu-satunya jalan yang tepat sekaligus terhormat dan diakui oleh norma dunia sehingga nantinya, Indonesia mampu berjalan dengan kepala tegak dan diterima dalam pergaulan internasional.
18. Walaupun sudah dapat ditebak hasilnya, namun jumlahnya mengagetkan. Ternyata signifikan mayoritas rakyat Timor Timur menolak untuk “MENERIMA usul otonomi khusus untuk Timor Timur didalam NKRI” yang ditawarkan pada lembar Jajak Pendapat, dan lebih memilih “MENOLAK usul otonomi khusus Timor Timur, yang akan mengakibatkan berpisahnya Timor Timur dari Indonesia”. Berdasarkan hasil jajak pendapat yang diselenggarakan oleh PBB ini, keputusan integrasi Timor Timur ke NKRI dibatalkan oleh Indonesia. Timor Timur kemudian “dikeluarkan” dari NKRI dan dikembalikan kepada Portugal dengan status seperti sebelum 1975 ketika proses dekolonisasi dimulai paska Revolusi Bunga.
19. Selanjutnya, Timor Timur diurus oleh PBB dengan bantuan negara-negara lainnya didunia, termasuk negara Portugal. Dibawah naungan PBB sejak 1999-2002, namanya berganti menjadi “East Timor”. Selama 3 tahun, mantan propinsi Indonesia ini dipersiapkan oleh PBB menjadi negara baru sebagai bagian dari proyek dekolonisasi Portugal yang tertunda.
20. PBB kemudian men-sah-kan dan menyiarkan kepada dunia bahwa tanggal 20 Mei 2002 lahir Negara Baru bernama RDTL (Republik Demokratik Timor Leste). Sejak saat inilah hubungan antara Indonesia dengan Timor Leste adalah setara sebagai sebuah negara yang sama berdaulat. Negara-negara didunia, tentunya Indonesia, mengakui Timor Leste adalah negara merdeka, dengan demikian soal Timor Timur dianggap usai. Bagi negara, ini adalah keputusan besar yang mampu melepasakan “beban” ekonomi dan menanggalkan posisi tersudutnya Indonesia dipergaualan internasional, namun bagi mereka yang ikut bergabung sejak 1974-1975, baik itu prajurit ABRI, partisan, dan keturunan orang Timor yang cinta NKRI, ini adalah kisah yang mengecewakan bagi seluruh mereka yang berjuang untuk integrasi.
21. Bagi pejuang integrasi, integrasionis, apa yang terjadi ini belum usai. Mereka tidak mengakui eksistensi Timor Leste sebagai sebuah negara karena alasan-alasan tertentu hingga kini. Para pecinta NKRI (WNI) asal propinsi Timor Timur, eks-Timtim, menyebar ke seluruh Indonesia. Ada yang meneruskan apa yang sudah dilakukan selama ini di Pulau Jawa misalnya, ada yang masih menetap ditempat pengungsian di wilayah dekat perbatasan, ada yang mengikuti arahan pemerintah untuk transmigrasi ke Pulau Kaimantan, dan pulau lainnya, juga ada yang merubah dirinya menjadi warga negara RDTL untuk kembali ke tanah kelahirannya.
22. Tanah kelahiran mereka yang kini bernama Timor Leste adalah satu-satunya wilayah propinsi yang pisah atau keluar dari Indonesia. Di media-media sosial secara terbuka dan atas nama pribadi, warga negara Timor Leste ada saja yang mengungkapkan keinginannya agar Indonesia terpecah belah. Mereka selalu mendukung OPM agar Papua merdeka dari Indonesia, dan gemar memprovokasi GAM dan RMS agar kembali mengangkat isu disintegrasi untuk keluar dari NKRI. Belakangan dukungan terhadap Timor Raya yang merupakan lanjutan atas pemunculan pekikan NTT Merdeka, mencuat ke publik. Timor Leste sebagai sebuah negara masih tergolong tetangga yang baik karena secara formal-official tetap menghormati kedaulatan Indonesia diseluruh wilayah kepulauannya. Jelaslah bahwa ekspresi warganya tidak mencerminkan sikap politik negaranya.
23. Dari seluruh kisah ini pula, terdapatlah pesan bahwa keberlanjutan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan tidak selamanya mulus berlangsung lancar. Tantangan yang ada harus dijawab dengan cermat dan strategis secara domestik, regional, dan internasional. Dengan sumber-sumber yang dimiliki, baik itu SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam), maka perekonomian nasional di-stabil-kan dan terus ditingkatkan diseluruh sektor serta perluasan kerjasama lokal hingga internasional termasuk soal pendidikan. Politik dalam negeri tetap demokratis dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Kedua kekuatan ini, ekonomi dan politik menjadi basis bagi ketahanan serta keutuhan NKRI. Selanjutnya, pertahanan militer dan diplomasi internasional dikuatkan. Dengan kekayaan yang melimpah dan potensi kemajuan yang dimiliki Indonesia ini, bukan tidak mungkin “orang jahat” dengan agenda Balkanisasi Indonesia akan terus bergulir dan menunggu juga mematangkan situasi agar Indonesia menuju disintegrasi. Hanya negara yang sedang lemah ekonomi dan politik didalam negerinya, yang bisa “diobok-obok”. Indonesia sudah mengalaminya, dan kami segenap rakyat Indonesia tidak ingin mengalaminya kembali.
Tulisan ini juga dimuat di Kompasiana