Kami Bukan Boneka — Suara Integrasionis dari Timur yang Terlupakan

 


Oleh : Basmeri Integrasionis

Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh kepentingan global dan dominasi narasi Barat, muncul suara-suara dari selatan dunia yang menolak tunduk. Suara yang tidak lahir dari ruang diplomasi steril atau lobi internasional, melainkan dari akar rakyat yang menuntut martabat. Salah satu suara itu datang dari Presiden Burkina Faso, Ibrahim Traoré, pemimpin termuda di dunia, namun berani mengutarakan hal yang banyak pemimpin lain sembunyikan.

Dalam pidatonya di KTT Rusia–Afrika 2023 di St. Petersburg, Traoré berbicara tanpa basa-basi:

“We African heads of state must stop behaving like puppets that dance every time the imperialists pull the strings... When we the people decide to defend ourselves, we are labelled as militias… What human rights are we talking about? We take offense at this. It is shameful.”

“Kita, para kepala negara Afrika, harus berhenti bertingkah seperti boneka yang menari setiap kali imperialis menarik talinya... Ketika rakyat kami memutuskan untuk membela diri, kami dicap sebagai milisi… Hak asasi manusia yang mana yang sedang dibicarakan? Kami tersinggung oleh hal ini. Ini memalukan.”

Pidato itu bukan sekadar retorika Afrika. Bagi kami, para Integrasionis Timor Timur, kata-kata Traoré bukanlah hal baru—itu adalah gema dari luka lama kami, yang hingga hari ini masih bernanah.

Kami adalah bagian dari rakyat Timor Timur yang sejak awal mendukung integrasi dengan Indonesia, bukan karena paksaan, tetapi karena keyakinan historis dan kedekatan kultural. Namun dunia—yang merasa berhak menentukan nasib kami dari ruang rapat di New York atau Lisbon—memaksakan sebuah “jajak pendapat” pada tahun 1999 yang diselimuti kecurangan, keberpihakan, dan manipulasi. Tidak ada rakyat Timor Timur yang duduk di meja perundingan antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Namun ironisnya, masa depan kami ditentukan oleh kesepakatan tiga pihak yang sama sekali bukan pemilik sah tanah ini.

Ketika kami menolak hasil dari proses yang cacat itu, dan memilih keluar dari Timor Timur—dalam langkah yang penuh kesadaran untuk tidak memberikan legitimasi pada negara karbitan yang lahir dari tekanan global—kami dicap sebagai "milisi". Sama seperti yang terjadi pada rakyat Burkina Faso yang mengangkat senjata untuk melindungi desanya, namun dicemooh sebagai gerombolan.

Presiden Traoré melanjutkan dalam pidatonya:

“In Europe, when the people take up arms to defend their homeland, they are referred to as patriots… But when Africans do the same, we are called militias. That is hypocrisy.”

“Di Eropa, ketika rakyat mengangkat senjata untuk membela tanah air mereka, mereka disebut patriot… Tapi ketika orang Afrika melakukan hal yang sama, kami disebut milisi. Itu adalah kemunafikan.”

Pengalaman kami serupa. Kami dijadikan sasaran stigma dan dijauhkan dari ruang wacana publik. Sejarah kami ditulis sepihak oleh mereka yang menang secara naratif, bukan secara moral. Dunia menyambut tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik berdarah 1975 sebagai “pahlawan kemerdekaan”, padahal bagi banyak keluarga korban, mereka adalah eksekutor dari tragedi kemanusiaan yang tak terlupakan.

Sikap tegas Traoré, yang terinspirasi oleh semangat revolusioner Thomas Sankara dan solidaritas global ala Fidel Castro, menunjukkan bahwa dunia multipolar hanya mungkin lahir jika ada pemimpin yang berani berkata tidak pada tatanan lama. Dalam semangat itu pula, Integrasionis menolak tunduk. Kami tidak mau menjadi boneka, tidak ingin diatur oleh benang yang ditarik dari luar, dan tidak sudi menjadi pelengkap narasi palsu tentang kebebasan.

“Power to our people. Dignity to our people. Victory to our people. Homeland or death. We will prevail.”

“Kekuasaan bagi rakyat kami. Martabat bagi rakyat kami. Kemenangan bagi rakyat kami. Tanah air atau mati. Kami akan menang.”

Kami pun berkata: Integrasi adalah jalan martabat kami. Penolakan kami terhadap Timor Leste bukan kebencian, tetapi pernyataan harga diri. Kami tidak akan tinggal diam saat sejarah kami direkayasa, saat perjuangan kami disalahpahami, dan ketika kehadiran kami diabaikan.

Dan seperti rakyat Burkina Faso yang tidak ingin lagi diperintah dari luar, kami, para Integrasionis, juga tidak akan pernah menjadi boneka dari para neo-imperialis yang ingin terus mengatur arah masa depan bangsa-bangsa dari balik layar. Para kolonialis tua ini hingga kini belum rela melihat bekas jajahannya mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan mereka.

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama