Oleh : Basmeri Integrasionis
Salah satu manipulasi naratif terbesar dalam sejarah konflik Timor Timur adalah penggunaan istilah "Pro-Merdeka" bagi kubu anti-integrasi. Istilah ini telah memberi keuntungan sepihak secara moral dan simbolik kepada kelompok separatis seperti CNRT, Fretilin, dan Falintil. Dengan menyebut diri sebagai "pejuang kemerdekaan", mereka secara sepihak mencuri legitimasi sejarah dan mengaburkan fakta bahwa pihak integrasionis juga memperjuangkan sebuah bentuk kemerdekaan—yakni bersama Republik Indonesia, keluar dari penjajahan kolonialisme Portugis yang telah mencengkeram Timor selama lebih dari 400 tahun.
Padahal, kenyataannya kelompok yang disebut "Pro-Merdeka" itu tidaklah seluruhnya memperjuangkan kebebasan dengan cara damai dan luhur. Mereka justru menggunakan berbagai cara keji dalam konflik: pembunuhan terhadap warga pro-integrasi, pengusiran terhadap pendatang, pembakaran fasilitas umum, pemerkosaan, dan intimidasi terhadap masyarakat yang menolak tunduk pada narasi mereka.
Kenapa Saya Menolak Istilah “Pro-Merdeka”?
Sebagai seorang Integrasionis, saya secara konsisten menolak penggunaan istilah “Pro-Merdeka” dalam penulisan sejarah Timor Timur. Ada beberapa alasan penting dan mendasar:
Secara kaidah bahasa, pembagian dalam konflik tidak seharusnya menggunakan dua istilah “pro” di kedua kubu. Jika ada pihak Pro-Integrasi, maka pihak lawannya semestinya disebut Anti-Integrasi, bukan “Pro-Merdeka.” Ini adalah prinsip kebahasaan yang logis dan netral, agar tidak terjadi penumpukan makna yang membingungkan dan berpihak.
Kata “Merdeka” terlalu suci untuk diklaim hanya oleh satu kelompok. Pihak pro-integrasi juga memperjuangkan kemerdekaan—yakni kemerdekaan dari kemiskinan, dari keterasingan, dari kolonialisme lama, dan dari manipulasi kekuasaan elit lama yang selama berabad-abad menghisap rakyat kecil. Kemerdekaan kami adalah kemerdekaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memberi akses pendidikan, kesehatan, pembangunan, dan masa depan lebih baik.
Oleh karena itu, bila pun harus menyebut istilah itu dalam konteks naratif, saya akan selalu menulisnya dengan tanda kutip: "Pro-Merdeka", sebagai bentuk penekanan bahwa istilah itu adalah produk propaganda, bukan deskripsi objektif.
Menciptakan Kemenangan Naratif Lewat Simbol dan Bahasa
Dengan menyebut diri sebagai "pro-merdeka," mereka langsung menempati posisi moral tinggi di mata dunia. Sebaliknya, warga Timor Timur pro-integrasi secara sistematis dilabeli sebagai "milisi"—istilah yang identik dengan kekerasan tak terkendali dan tindakan brutal. Padahal, banyak di antara warga pro-integrasi adalah penduduk biasa yang mempertahankan hak mereka untuk hidup damai bersama Indonesia, menjaga rumah mereka, dan menolak dominasi sepihak kelompok yang dulu menjadi minoritas bersenjata namun disponsori propaganda global.
Bila Ditilik Secara Obyektif: Mereka Sejajar dengan Gerakan Radikal Global
Jika kita menilai secara jujur dan obyektif, maka perilaku kekerasan, penghasutan, propaganda, dan intimidasi yang dilakukan oleh kelompok anti-integrasi sangat mirip dengan metode yang digunakan oleh gerakan ekstremis modern:
ISIS di Timur Tengah, yang membungkus ideologi kekerasan dalam bahasa pembebasan.
Boko Haram di Afrika, yang mengklaim memperjuangkan hak kelompok tertentu sambil memaksakan kehendak lewat senjata.
Macan Tamil di Sri Lanka, yang menindas komunitasnya sendiri demi narasi separatis yang eksklusif.
Ketiganya, seperti halnya kubu anti-integrasi di Timor Timur, menampilkan wajah seolah “pejuang rakyat,” namun menekan rakyat itu sendiri demi kepentingan elit dan faksi politik mereka.
Kemenangan Mereka Bukan Karena Kebenaran, Tapi Karena Narasi yang Diciptakan
Yang tragis adalah dunia internasional menelan mentah-mentah narasi “pro-merdeka” ini tanpa menguji realitas di lapangan. Mereka yang memilih tetap bersama Indonesia tak pernah mendapat ruang untuk menjelaskan posisi, nilai, dan perjuangan mereka. Dunia, yang ingin merasa membela kaum “tertindas,” justru menjadi alat dari agenda separatis radikal. PBB, LSM asing, media barat—semuanya terjebak dalam narasi satu sisi yang penuh kepalsuan.
Ini Bukan Tentang Kemerdekaan, Tapi Soal Dominasi Narasi
Istilah "pro-merdeka" telah menjadi alat kolonisasi narasi. Dengan memakainya, seolah tak ada ruang bagi opsi lain selain "kemerdekaan" dari Indonesia, padahal kenyataan politik dan sosialnya jauh lebih kompleks. Sikap dan suara warga Timor Timur pro-integrasi—yang memilih keluar dari Timor Timur dan hidup sebagai pengungsi karena menolak hasil curang jajak pendapat—justru membongkar kebohongan besar ini.
Integrasionis adalah saksi hidup bahwa “kemerdekaan” yang dijual oleh CNRT, Fretilin, dan Falintil bukanlah kemerdekaan sejati, melainkan proyek politik yang mengorbankan sesama rakyat Timor Timur demi kepentingan elit dan sanjungan internasional.
Kita perlu terus meluruskan sejarah. Bukan karena benci, tapi karena cinta terhadap kebenaran. Menolak istilah “Pro-Merdeka” bukan soal semantik semata, tapi soal merebut kembali makna perjuangan yang selama ini dicuri oleh propaganda sepihak. Perjuangan integrasi adalah bagian sah dari sejarah kemerdekaan rakyat Timor Timur bersama Indonesia.
Dan bagi kami, para Integrasionis, itulah kemerdekaan yang sejati.