Membongkar Mitos: Kesalahan Logika Dunia dalam Melihat Kasus HAM di Timor Timur


Oleh : Basmeri Integrasionis

Selama puluhan tahun, narasi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor Timur telah didominasi oleh satu versi: Indonesia bersalah, dan aktor tunggal yang dituduh tak lain adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta kelompok pro-integrasi. Dalam setiap peristiwa kekerasan, kematian, atau luka, jari telunjuk langsung diarahkan tanpa ragu. Tuduhan ini diterima dan disebarkan secara luas oleh media internasional, lembaga hak asasi, dan bahkan lembaga negara di dunia Barat. Namun, di balik kepastian yang dikonstruksi ini, tersembunyi jebakan logika, distorsi fakta, dan permainan simbol yang nyaris tak pernah disentuh oleh investigasi objektif.

Kesalahan Logika: Dari Tikus dan Anjing ke Tuduhan TNI

Untuk memahami mengapa narasi ini bisa terbentuk, kita perlu mulai dari kesalahan logika sederhana namun destruktif yang sering kali digunakan untuk menyimpulkan pelanggaran HAM di Timor Timur: affirming the consequent (menegaskan akibat, lalu menyimpulkan sebab secara keliru). Sebagai contoh:

"Tikus akan mati kalau digigit anjing. Tadi ada tikus mati, maka pasti digigit anjing."

Ini adalah kesalahan sebab-akibat yang fatal — karena kematian tikus bisa disebabkan oleh banyak hal lain seperti racun, jebakan, atau mati alami. Namun, kesimpulan langsung diarahkan pada satu penyebab tunggal karena cocok dengan harapan atau prasangka sebelumnya.

Logika cacat seperti inilah yang sering digunakan dalam tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur. Contoh lainnya adalah:

"Anti-integrasi pasti mati kalau ditembak TNI. Ada anti-integrasi yang mati, maka pasti dibunuh TNI."

Pola logika seperti ini mengabaikan kompleksitas konflik yang melibatkan banyak pihak bersenjata, termasuk Falintil. Falintil sendiri, yang sudah memiliki rekam jejak kekerasan sejak 1975, jarang sekali tersentuh oleh tuduhan internasional. Ini menciptakan gambaran yang sangat sepihak, seolah hanya pihak pro-integrasi yang mungkin melakukan kekerasan. Padahal, dalam konflik bersenjata dua arah, setiap kematian seharusnya diselidiki secara objektif, bukan disimpulkan berdasarkan asumsi logika yang menyesatkan.

Simbol, Framing, dan Manipulasi Persepsi

Selain kesalahan logika, simbol dan framing juga berperan besar dalam membentuk persepsi dunia. Misalnya, ditemukannya baret merah atau pisau komando di tubuh korban seringkali dijadikan bukti mutlak bahwa TNI adalah pelaku pembunuhannya. Ini adalah bentuk lain dari non sequitur — kesimpulan yang tidak logis berdasarkan premis. Dalam situasi konflik, sangat mungkin simbol-simbol seperti itu sengaja diletakkan untuk membingkai persepsi. Namun, dunia internasional yang mestinya lebih cermat, justru menerima simbol-simbol tersebut sebagai fakta yang tidak terbantahkan.

Uskup Belo: Tokoh Damai atau Aktor Politik?

Salah satu figur yang sangat terkait dengan narasi internasional soal Timor Timur adalah Uskup Carlos Ximenes Belo. Ia dipuja sebagai tokoh perdamaian, dianugerahi Nobel Perdamaian, dan disanjung sebagai suara moral. Namun, kini kita tahu bahwa ia menyimpan sejarah gelap sebagai predator seksual terhadap anak-anak — sebuah kenyataan yang membongkar ilusi moral yang dulu dilanggengkan media global.

Lebih jauh lagi, pada tahun 1999, ketika Timor Timur dilanda konflik internal, Uskup Belo tidak bersikap netral. Ia menggunakan hak suaranya dalam jajak pendapat, menandakan keberpihakan politiknya. Dalam konteks ini, sikapnya menghilangkan otoritas moralnya sebagai pengayom semua pihak. Ironisnya, ketika situasi memanas, Uskup Belo justru “melarikan diri” dari umatnya, meninggalkan mereka di tengah kekacauan — sesuatu yang memalukan jika dilihat dari perspektif gereja. Yang lebih mengejutkan adalah kenyataan bahwa ia diselamatkan oleh TNI dan Polri — dua institusi yang paling sering dituduh sebagai pelaku kekerasan. Tanpa perlindungan dari aparat Indonesia, ia bisa saja terbunuh oleh kelompok anti-integrasi. Dan andai itu terjadi, tidak diragukan lagi — dunia akan kembali menuduh TNI sebagai pelaku.

Falintil: Pejuang yang Kebal dari Kritik

Falintil, kelompok bersenjata "pro-kemerdekaan", sejak awal dianggap sebagai "pahlawan" dalam narasi global. Padahal, pada 1975–1976, mereka juga terlibat dalam pembantaian terhadap pendukung Apodeti — partai lokal yang mendukung integrasi. Fakta ini nyaris tidak pernah dimasukkan dalam laporan HAM internasional.

Mengapa? Karena narasi global telah memposisikan Falintil sebagai "pejuang kemerdekaan" — dan dalam mitologi politik internasional, pejuang seringkali dibebaskan dari dosa. Akibatnya, Falintil seolah memiliki “lisensi untuk membunuh”. Mereka tahu, apa pun yang terjadi, dunia tidak akan melihat ke arah mereka.

Bahkan skenario terburuk pun bisa direkayasa: memakai simbol militer Indonesia, melakukan pembunuhan terhadap warga sipil atau tokoh agama, dan membiarkan dunia menyimpulkan sendiri bahwa pelakunya adalah TNI. Strategi manipulatif ini bisa berjalan mulus karena adanya bias global yang sudah terstruktur sejak awal.

Sander Thoenes: Wartawan yang Bisa Sengaja Dijadikan Korban Strategis

Dalam konteks konflik Timor Timur menjelang jajak pendapat 1999, kematian Sander Thoenes bukan hanya tragedi pribadi—tetapi juga bisa dibaca sebagai manuver politik yang sangat canggih. Dunia internasional pada saat itu hanya membutuhkan satu insiden dramatis yang bisa mengokohkan tuduhan terhadap TNI. Maka, muncul pertanyaan yang logis namun jarang ditanyakan: siapa yang paling diuntungkan dari kematiannya? Bukan Indonesia—karena membunuh wartawan asing hanya akan memperkuat tekanan internasional yang saat itu sudah sangat keras terhadap Jakarta. Sebaliknya, pihak-pihak yang ingin memastikan bahwa dunia mencap TNI sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan justru memiliki motif kuat untuk memastikan adanya korban asing. Dalam skenario ini, Thoenes bisa saja dijadikan target yang sengaja dikorbankan—sebuah operasi false flag—demi memprovokasi simpati dunia dan sekaligus mempercepat delegitimasi militer Indonesia. Sayangnya, kemungkinan ini jarang dibahas karena dunia sudah terlanjur mengarahkan jari telunjuknya hanya pada satu pihak. Dan selama itu terjadi, pelaku sebenarnya bisa terus bersembunyi di balik narasi yang mereka bentuk sendiri.

Menantang Narasi, Menggugat Keadilan

Narasi tunggal bahwa hanya TNI dan milisi pro-integrasi yang bersalah dalam konflik Timor Timur adalah penyederhanaan berbahaya. Ia mengabaikan fakta, menyingkirkan keragaman aktor, dan menutup peluang bagi penyelidikan objektif. Dunia, yang seharusnya menjunjung keadilan dan kebenaran, justru terjebak dalam narasi yang dibentuk oleh kesalahan logika, simbol palsu, dan framing politik.

Jika ingin benar-benar memahami tragedi Timor Timur, dunia harus berani keluar dari narasi lama — dan mulai mempertimbangkan seluruh spektrum aktor, termasuk Falintil. Sebab keadilan sejati tidak lahir dari cerita yang dirancang, tapi dari keberanian melihat semua sisi kebenaran.

Dan hanya ketika sejarah ditulis di atas fakta, bukan asumsi, maka kita bisa berharap bahwa masa depan tidak akan dibangun di atas kebohongan yang sama.

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama