Oleh: Basmeri Integrasionis
Dalam sejarah kekuasaan, selalu ada tokoh-tokoh yang berkuasa tidak dengan cara berteriak di mimbar atau tampil meledak-ledak di hadapan publik, melainkan dengan ketenangan, kesabaran, dan strategi yang halus tapi menghanyutkan. Dua sosok yang mewakili tipe ini datang dari dunia yang berbeda: Jenderal Soeharto dari Indonesia dan Don Vito Corleone, tokoh fiktif dalam film The Godfather. Yang satu adalah penguasa Orde Baru selama tiga dekade, yang lain adalah kepala mafia yang dihormati (dan ditakuti) di jagat sinema. Meski berbeda konteks, jiwa kekuasaan mereka hampir identik.
Sang Penanti yang Sabar
Soeharto tidak merebut kekuasaan secara terbuka. Ia menunggu, mengamati, dan menyusun langkah secara perlahan, bahkan saat berada di bawah bayang-bayang Soekarno. Ia pernah dianggap kurang cerdas oleh atasannya, Jenderal Nasution. Hampir dipecat. Tapi ia tetap diam.
Ketika G30S 1965 meledak dan Indonesia jatuh dalam kekacauan, Soeharto bergerak cepat—bukan dengan emosi, tapi dengan presisi dan kecerdasan politik. Ia mengambil kendali, menyusun operasi militer, dan perlahan-lahan meminggirkan Soekarno. Di tengah ketidakpastian, Soeharto justru tampak paling tenang. Dan dari ketenangan itulah ia naik ke puncak kekuasaan.
Don Corleone dalam The Godfather juga tidak pernah terburu-buru. Ia membangun kekuatan dengan tenang, menyusun aliansi, menolong banyak orang hingga mereka “berutang budi”. Ia tidak tampil sebagai penindas, tapi sebagai pelindung. Namun, seperti Soeharto, saat waktunya tiba, ia tahu kapan harus bertindak tanpa ragu.
Kekuasaan Bukan Sekadar Otoritas, Tapi Pengaruh
Soeharto menguasai Indonesia bukan hanya karena jabatannya sebagai Presiden. Ia mengendalikan Golkar, ABRI, birokrasi, hingga jaringan pengusaha. Tapi lebih dari itu, ia menguasai psikologi bangsa: rakyat merasa "lebih tenang" saat Soeharto berkuasa, meski di baliknya ada represi dan pembungkaman.
Don Corleone juga tidak sekadar menjadi bos mafia. Ia menjadi simbol stabilitas. Orang-orang mendatanginya karena percaya ia bisa "menyelesaikan masalah", lebih dari yang bisa dilakukan lembaga negara.
Keduanya memahami bahwa kekuasaan sejati bukan pada senjata atau jabatan, tapi pada rasa takut dan rasa hormat yang menyatu.
Menghindari Konfrotasi, Menguasai Strategi
Soeharto jarang berkonfrontasi langsung. Ia bukan tipe Sukarno yang oratoris, apalagi populis. Tapi dalam diamnya, ia menyusun peta kekuatan. Ia memilih menunggu lawan terpeleset sendiri, lalu masuk dengan langkah yang tidak bisa ditolak.
Don Corleone juga tidak suka kekerasan yang sia-sia. Ia menolak menjual narkoba karena tahu itu akan menghancurkan jaringan jangka panjangnya. Tapi saat keluarga dan posisinya terancam, ia tidak ragu mengeluarkan perintah eksekusi. Lembut di permukaan, mematikan di kedalaman.
Mengorganisasi Kekuasaan seperti Mengelola Keluarga
Orde Baru dirancang Soeharto seperti organisasi keluarga besar: ada loyalis di militer, pengusaha kroni, partai politik pendukung, dan kaum teknokrat. Semua diberi tempat, selama tunduk. Ia menjaga keseimbangan antara kelompok Islam, nasionalis, dan militer.
Don Corleone mengelola keluarga Corleone dengan prinsip yang sama. Kesetiaan adalah harga mati. Mereka yang membelot, berkhianat, atau mengambil langkah gegabah, akan "disingkirkan secara elegan".
Kekuasaan yang Tak Lengkang oleh Zaman
Soeharto memerintah Indonesia selama 32 tahun. Tidak banyak pemimpin dunia yang bertahan selama itu tanpa kudeta atau revolusi berdarah. Ia bertahan karena memahami psikologi kekuasaan: stabilitas lebih penting daripada demokrasi, kesetiaan lebih berharga dari suara rakyat.
Don Corleone pun bertahan di tengah dunia mafia yang brutal karena tidak mudah terpancing, dan tahu kapan harus menyerang serta kapan mundur.
Akhir Kisah: Kekuasaan yang Tak Abadi
Soeharto akhirnya lengser pada 1998 di tengah krisis dan gelombang reformasi. Ia jatuh bukan karena kelemahan taktik, tapi karena perubahan zaman yang tak bisa ditahan. Don Corleone dalam film juga akhirnya pensiun, menyadari bahwa era baru akan membutuhkan cara baru—yang kemudian diwariskan kepada anaknya, Michael.
Kekuasaan memang tidak abadi. Tapi cara mereka meraihnya akan selalu menjadi pelajaran dalam sejarah dan fiksi.
Penutup: Ketika Politik dan Fiksi Bertemu
Soeharto dan Don Corleone berasal dari dua dunia yang berbeda—yang satu nyata, yang lain fiksi. Tapi keduanya mengajarkan bahwa pemimpin yang terlihat tenang dan biasa saja sering kali menyimpan kekuatan paling besar. Mereka tidak selalu tampil paling keras, paling pintar, atau paling ramai. Tapi merekalah yang paling siap saat momen besar datang.
Jadi, ketika kita menilai seorang tokoh dari permukaannya saja, barangkali kita harus ingat: dalam politik, yang terlihat lemah belum tentu tidak berbahaya.