Kisah Pengungsian Pasca Jajak Pendapat Timor Timur


Berikut adalah sekelumit kisah saya saat masa pengungsian yang dimulai selepas jajak pendapat 1999 di Timor Timur. Di tengah begitu banyak hal yang ingin saya tuliskan, saya mencoba memulai dari kisah kecil ini—fragmen yang terselip di antara riuh dan getir perjalanan sejarah. Semoga kisah ini dapat memberikan sedikit gambaran tentang apa yang terjadi di masa itu dan menjadi pengingat akan nilai-nilai kemanusiaan yang tetap bertahan di tengah kekacauan.

Setelah hasil jajak pendapat diumumkan, sebuah babak baru yang penuh gejolak dimulai. Mayoritas masyarakat Timor Timur, sekitar 78,5%, menolak tawaran otonomi khusus dari pemerintah Indonesia. Keputusan ini menjadi titik awal perpisahan Timor Timur dari NKRI, dan chaos pun terjadi. Kota Dili, pusat kehidupan di Timor Timur, terbakar hebat.

Narasi tentang siapa pelaku pembakaran beragam. Kubu anti-Indonesia menyalahkan milisi pro-integrasi dan tentara Indonesia. Namun, warga pro-integrasi punya pemahaman berbeda. Sejak jauh sebelum perpisahan, ancaman seperti "Bapa sai, rumah kamu jadi rumah saya" sudah sering dilontarkan oleh kelompok anti-integrasi kepada pendatang. Tak heran jika banyak pendatang yang lebih memilih membakar rumah mereka daripada membiarkannya jatuh ke tangan mereka yang tak ikut berkeringat membangunnya. Pertanyaannya, siapa pelaku sebenarnya? Itu biarlah menjadi kesimpulan masing-masing pembaca.

Keluarga saya juga menjadi bagian dari gelombang pengungsian. Ibu tiri saya dan ketiga adik saya keluar dari Dili menuju perbatasan darat. Perjalanan itu bukan tanpa tantangan. Milisi-milisi yang berjaga di sepanjang jalur perbatasan adalah ancaman nyata. Mereka bukan hanya condong kepada ideologi tertentu, tetapi sering kali bertindak atas kehendak sendiri, menyasar siapa saja yang melintas.

Ada cara untuk melewati blokade milisi ini: jika membawa senjata, cukup tunjukkan dari jendela mobil, maka mereka biasanya akan membiarkan lewat. Jika tidak membawa senjata, pilihan lainnya adalah menunjukkan "surat sakti" yang ditandatangani oleh Eurico Guterres.

Namun, ada kisah lucu di tengah situasi mencekam ini.

Seorang ibu bermarga Lemos membawa sebuah motor milik saudaranya, Eurico Lemos. Ketika dihentikan oleh milisi yang ingin merampas motor itu, ia dengan lantang menolak. "Ini motor Eurico!" katanya. Milisi pun meminta bukti. Ibu itu menyerahkan STNK motor yang jelas-jelas bertuliskan nama saudaranya. Salah seorang milisi, yang tak bisa membaca, membuka STNK itu terbalik, lalu dengan percaya diri "membaca" sambil berteriak, "Eurico Guterres!" si ibu hanya tersenyum geli—sebuah momen yang menelanjangi realitas: orang-orang kecil, yang tidak memiliki pendidikan dasar, kini memegang kekuasaan lewat senjata.

Kisah tentang milisi ini penuh dengan kejadian yang, meskipun absurd, menyimpan kelucuan tersendiri. Salah satu cerita yang masih sering diceritakan adalah tentang dua orang milisi yang berkelahi gara-gara sebuah motor. Mereka sama-sama mengklaim motor itu sebagai milik mereka, dan tak satu pun mau mengalah. Perdebatan berubah menjadi adu fisik—pukulan melayang, umpatan bersahutan. Namun, karena tak kunjung mencapai kesepakatan, mereka akhirnya memutuskan solusi yang mengejutkan: motor itu dibakar di tempat.

Ada lagi cerita saat sekelompok milisi memasuki sebuah kantor yang sudah lama ditinggalkan. Di sana, mereka menemukan beberapa monitor komputer yang masih tertata rapi. Dengan wajah penuh rasa penasaran, mereka membawa monitor-monitor itu keluar, memasangnya di tempat yang mereka anggap aman, dan mulai menyambungkan kabel ke stopkontak. "Nyala ini!" seru salah seorang. Mereka menunggu beberapa saat, menatap layar monitor yang kosong, berharap akan ada gambar yang muncul. Namun, tak ada yang terjadi. Bingung, mereka mulai memukul-mukul sisi monitor dan mengotak-atik kabelnya. "TV ini rusak semua!" keluh salah seorang, tanpa menyadari bahwa monitor komputer bukanlah TV.

Kelucuan-kelucuan seperti ini membuat suasana yang mencekam menjadi sedikit lebih ringan. Namun, cerita ini bukan sekadar tentang tawa. Di balik kebodohan dan aksi mereka yang sering terlihat ceroboh, tersimpan realitas pahit tentang pendidikan dan latar belakang sosial orang-orang kecil yang tiba-tiba memegang senjata di tangan.

Setelah cukup banyak cerita ringan, mari kembali ke perjalanan keluarga kami. Perjalanan ini adalah kisah yang sangat berbeda. Keluarga besar kami, yang merupakan anggota kehormatan Kopassus, beruntung mendapat pengawalan Kopassus hingga perbatasan. Rombongan kami terdiri dari ibu tiri saya, dak adik-adik saya, rombongan ini diikuti oleh keluarga besan ayah saya yang memiliki latar belakang berbeda secara ideologis. Namun, kami tidak memandang perbedaan itu. Perlindungan adalah kewajiban, dan rombongan kami pun tiba di perbatasan tanpa hambatan berarti.

Setelah berhasil keluar dari Timor Timur, perjalanan berlanjut hingga ke Denpasar, Bali. Rupanya, Denpasar menjadi tujuan banyak pengungsi Timor Timur. Ibu tiri ditempatkan di salah satu asrama Katolik bersama pengungsi lainnya. Gereja dan misi Katolik membuka pintu bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal, memberikan ibu tiri saya dan adik adik atap untuk berlindung.

Di asrama itu, ibu tiri saya bersama adik-adik saya tinggal bersama banyak keluarga lain yang juga kehilangan rumah dan tanah air. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka merasa bersyukur atas atap yang melindungi mereka dari panas dan hujan. Solidaritas yang ditunjukkan Gereja Katolik menjadi penghiburan di tengah kehilangan.

Perjuangan di Tengah Kehilangan: Sebuah Malam yang Tak Terlupakan

Saat ibu tiri saya dan ketiga adik saya berada di Denpasar bersama rombongan. Sementara itu, saya berada di jalur perjuangan lain, bergerak di tengah hiruk pikuk politik dan sosial di Jakarta.

Bersama Front Persatuan Bangsa Indonesia (FPBI), sebuah organisasi yang kami bentuk untuk menggalang dukungan bagi perjuangan Integrasionis Timor Timur. Organisasi ini terdiri dari berbagai kelompok: artis seperti Renny Djayusman, anak-anak Veteran Seroja tentara yang pernah bertugas di Timor Timur FOKPPOST (Forum Komunikasi Putra Putri Operasi Seroja), serta berbagai pendukung setia integrasi.

Pemilihan Renny Djayusman sebagai ketua bukan tanpa alasan. Sebagai artis terkenal, ia membawa nilai berita yang kami harapkan dapat menarik perhatian media nasional. Perjuangan kami bukan hanya soal ideologi, tetapi juga tentang memastikan cerita kami terus menjadi sorotan, tidak tenggelam di tengah berbagai isu lain.

Saya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal FPBI, memastikan bahwa semua aksi kami berjalan terorganisir. Salah satu langkah awal kami adalah menggelar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Australia dan Inggris. Kami ingin dunia tahu bahwa kami menolak hasil jajak pendapat yang kami anggap penuh kecurangan. Tidak berhenti di situ, kami juga mengadakan dialog dengan anggota DPR, mencoba mempengaruhi mereka untuk tidak mengesahkan hasil jajak pendapat tersebut.

Namun, perjuangan kami menghadapi tembok tebal. Sejarah akhirnya mencatat bahwa parlemen tetap mengakui hasil jajak pendapat, mengesahkan pelepasan Timor Timur. Kegagalan ini memaksa kami mengubah fokus perjuangan, dari politik menuju upaya sosial dan kemanusiaan.

Malam Dana: Harapan di Tengah Kecewa

Salah satu momen yang tak terlupakan adalah malam dana yang kami gelar untuk membantu para pengungsi Timor Timur di Nusa Tenggara Timur. Dengan latar belakangnya sebagai artis, Renny Djayusman berhasil mengumpulkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk para pejabat dan selebritas.

Malam itu, suasana awalnya ceria. Para pelawak seperti Tarzan dan rekan-rekannya menghibur tamu yang hadir. Namun, segalanya berubah ketika Gubernur DKI Jakarta, Bang Yos, naik ke panggung.

Dengan suara bergetar, ia berbicara tentang pengalamannya sebagai prajurit TNI yang pernah ditugaskan menyusup ke Timor Timur. “Ketika mendengar hasil jajak pendapat, dada saya sesak sekali. Saya menangis,” katanya. Suaranya pecah saat mengingat rekan-rekannya yang gugur di medan tugas, demi mempertahankan keutuhan bangsa. “Perjuangan mereka seakan sia-sia, dan politisi kita tidak punya kepekaan untuk menghargai pengorbanan itu,” lanjutnya.

Ruang yang sebelumnya dipenuhi tawa mendadak hening. Kata-kata Bang Yos menusuk hingga ke relung hati, mengingatkan kami akan harga mahal yang telah dibayar demi mempertahankan Timor Timur.

Menuju NTT: Perjalanan dengan Hercules

Setelah malam dana itu, kami melanjutkan perjuangan dengan aksi penggalangan dana lainnya. Untuk mencapai Kupang, kami meminta bantuan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Mereka mengizinkan kami menumpang pesawat Hercules.

Demikian sementara yang bisa saya kisahkan dari perjalanan saat pengungsian keluarga saya selepas jajak pendapat 1999. Kisah ini hanyalah sepenggal cerita dari kepingan-kepingan pengalaman yang lebih besar.

Selepas hasil jajak pendapat diumumkan, perjuangan kami tidak berhenti. Bersama kawan-kawan yang memiliki semangat dan tekad yang sama, kami bergerak menghadapi situasi yang penuh tantangan di tengah realitas yang terkadang terasa tidak berpihak.

Semoga, di balik catatan sederhana ini, ada sesuatu yang dapat direnungkan dan menjadi pelajaran bagi siapa saja yang membacanya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama