Setiap kali kami—kaum Integrasionis—mengkritik para lider di Timor Leste atas cara mereka mengelola negeri ini, selalu saja ada yang tersinggung. Mereka berkata: “Ini urusan kami. Ini tanah kami.”
Namun kami perlu menjawab dengan jujur dan tegas:
Tanah itu bukan hanya milik Anda. Timor adalah milik seluruh rakyat Timor Timur—baik yang tinggal di dalam batas Timor Leste hari ini, maupun yang telah memilih tinggal di luar sebagai bentuk protes dan penolakan.
Kami, Integrasionis, juga lahir dari rahim bumi Timor.
Kami punya akar, leluhur, rumah adat, dan air mata yang jatuh di tanah yang sama.
Keputusan kami untuk meninggalkan negeri itu bukan karena menyerah, tapi karena kami tidak ingin turut menyaksikan tanah leluhur kami dikotori oleh kerakusan elite yang bersembunyi di balik sejarah perjuangan.
Tanah Timor dan segala yang terkandung di dalamnya bukan warisan eksklusif para mantan gerilyawan. Ia adalah pusaka budaya, sejarah, dan martabat milik semua orang Timor Timur—termasuk mereka yang hari ini disebut pengkhianat, hanya karena tak mau mengakui "negara" yang dibentuk dari kompromi politik, bukan kesepakatan seluruh rakyatnya.
Kami sedang menagih hak moral dan sejarah atas tanah yang kami cintai. Kami hanya ingin memastikan bahwa Timor tidak jatuh ke tangan segelintir elite yang memperlakukan negeri ini seperti warisan pribadi—diputar, dijual, dan dijaga hanya untuk dinikmati oleh kelompoknya saja.
Jika kami bersuara, itu karena cinta kami pada Timor terlalu besar untuk dibungkam.
Kalau Anda merasa ‘fine-fine saja’—boleh jadi Anda termasuk dalam segelintir orang yang masih menikmati hasil dari sistem yang dibangun atas nama perjuangan.
Tapi mari kita bicara terus terang. Kami bukan musuh politik, kami bukan orang luar. Kami ini anak-anak Timor Timur juga—dengan akar yang sama, rumah adat yang sama, leluhur yang sama. Hanya jalan politik kita yang berbeda.
1. 'Fine' Versi Elit vs Realita Rakyat
Fine? Ketika 42% warga Timor-Leste hidup dengan Rp28.000/hari (UNDP)? Lebih miskin dari NTT yang dulu kalian anggap ‘terbelakang’?
Fine? Ketika rumah sakit di Dili lebih buruk dari era integrasi, dan listrik masih barang mewah di distrik pedalaman?
Fine? Ketika US$23 miliar dana minyak (La’o Hamutuk) menguap dalam proyek-proyek fiktif, sementara anak-anak belajar di gedung sekolah yang hampir roboh?
Bandingkan dengan NTT:
Kupang punya RSUP dr. Ben Mboi. Hari ini, rumah sakit terbaik Timor-Leste kalah fasilitas dari Puskesmas Belu.
2. Timor-Leste vs Singapura: 24 Tahun yang Berbeda
Singapura (1965–1989): Dari kampung kumuh jadi macan Asia.Timor-Leste (2002–2024): Dari negara kaya minyak jadi negara termiskin ke-4 di Asia (IMF)—bahkan lebih parah dari Bangladesh.
Lalu mana bukti bahwa ‘kemerdekaan’ yg dijanjikan Xanana dkk membawa kemakmuran?Ataukah ini hanya kemerdekaan segelintir elite untuk menguasai hasil minyak rakyat?
3. Jika Anda Memang 'Fine'—Buktikan
Jangan balas dengan senyum sinis. Kalau Anda benar-benar fine, buktikanlah dengan hal-hal nyata:
- Tunjukkan transparansi dana minyak—ke mana hilangnya USD 23 miliar itu?
- Bangun sekolah-sekolah yang tak roboh saat musim hujan tiba.
- Perbaiki rumah sakit yang tak perlu dirujuk ke Kupang atau Darwin.
- Buktikan bahwa Timor tidak tertinggal dari NTT, yang PAD-nya bahkan sepersepuluh dari APBN kalian.
Atau teruslah berkata “I’m fine”—tapi sejarah akan mencatat:
Anda bukan pahlawan, tapi penonton diam ketika tanah leluhurnya dijual ke investor asing.
Anda bukan pahlawan, tapi penonton diam ketika tanah leluhurnya dijual ke investor asing.
4. Tanah Ini Milik Kita Semua
Jangan pernah bilang Timor hanya milik Anda yang tinggal di sana sekarang.
Tanah ini adalah milik semua orang Timor Timur, termasuk kami, para Integrasionis, yang memilih pergi demi menjaga martabat.
Kami juga punya hak untuk bersuara, karena tanah ini milik leluhur kami juga.
Dan kami tidak akan diam melihat warisan itu dijadikan lahan eksploitasi segelintir orang yang merasa paling berjasa.