oleh: Basmeri
Dalam forum diskusi yang dipandu oleh Rocky Gerung, Xanana Gusmão menyuarakan keprihatinan mendalam atas situasi bangsa yang dia “pimpin”. Yang menarik dari pernyataan Xanana seorang tokoh anti Integrasi yang dulu mengangkat senjata, menolak Integrasi, dan kini malah mengaku kecewa atas apa yang terjadi dengan "bangsa" ciptaannya sendiri. Ini adalah bukti paling terang bahwa negara yang berdiri dari hasil jajak pendapat curang 1999 itu tidak dibangun di atas fondasi rasionalitas dan keadilan.
Xanana bicara soal naiknya peringkat demokrasi Timor Leste, namun ia sendiri tak percaya bahwa itu cerminan dari kedewasaan politik. Ia menyebut bahwa alasan ranking naik hanyalah karena pemilu berlangsung tanpa konflik. Tapi bukankah sejak awal, sistem yang digunakan adalah sistem yang ditumpangi propaganda sepihak dari kubu anti Integrasi?
Xanana juga mengaku kecewa terhadap kualitas berpikir generasi muda di Timor Leste. Ia menyebut mereka tak bisa berpikir logis, tak bisa membedakan alasan untuk berkata “ya” atau “tidak”, dan tak tahu cara berargumentasi.
Apa yang ia keluhkan sebenarnya adalah buah dari benih yang ia tanam sendiri. Ketika mereka mengorbankan pendidikan dan logika demi perjuangan bersenjata dan retorika kebencian, tentu saja yang lahir bukan generasi rasional, tapi generasi yang hanya tahu slogan.
Selama 24 tahun bersama Indonesia, kami belajar dalam sistem yang membentuk nalar, bukan sekadar emosi. Pendidikan, logika, dan akal sehat adalah bagian dari program integrasi — bukan propaganda.
Xanana juga menyinggung sistem hukum yang kaku, tidak punya kepekaan sosial. Ia bercerita tentang perempuan-perempuan di penjara yang dihukum hanya berdasarkan teks hukum, tanpa mempertimbangkan konteks sosial.
Tapi lagi-lagi, kita bertanya: siapa yang membentuk sistem hukum ini? Bukankah Xanana dan elit CNRT adalah arsitek dari sistem itu? Mereka yang dulu menyerahkan bangsanya kepada kekuatan asing, kini mengeluh karena sistem yang mereka bangun tidak manusiawi.
Yang paling tragis adalah, Xanana kini seperti sedang bercerita tentang kegagalan dirinya sendiri. Ia menggambarkan negara yang ia perjuangkan penuh cacat — generasi tanpa arah, hukum tanpa rasa, dan demokrasi tanpa jiwa. Tapi ia lupa, bahwa semua itu dimulai dari pengkhianatan terhadap sejarah: ketika PBB memberi mandat pada kelompok yang tangan mereka masih berlumur darah 1975.
Apa yang Xanana katakan sebenarnya adalah pengakuan diam-diam: bahwa proyek negara Timor Leste gagal memahami rakyatnya sendiri. Negara ini gagal karena sejak awal dibangun bukan atas dasar kesepakatan rakyat Timor Timur secara utuh, tapi oleh kesepakatan sepihak antara Portugal, PBB, dan elit Fretillin -CNRT yang mengklaim kebenaran sejarah.
Jika hari ini Xanana kecewa, maka itu adalah konsekuensi dari jalan yang dia pilih. Kami, sudah lama tahu bahwa kebohongan tidak bisa melahirkan bangsa yang kuat. Demokrasi tanpa logika, hukum tanpa hati, dan kemerdekaan tanpa dasar moral adalah proyek kosong — dan sekarang, bahkan sang “bapak bangsa” itu sendiri mulai merasakannya.
Tags:
Ex-Timtim