OPERASI SEROJA: KETIKA INDONESIA BERTINDAK SAAT DUNIA DIAM


Dunia, setiap kali membicarakan konflik Timor Timur, hampir selalu memulainya dari satu tanggal: 7 Desember 1975. Tanggal ketika Indonesia menerjunkan pasukan bersenjatanya ke Dili, dalam sebuah operasi militer lintas-matra yang kemudian dikenal sebagai Operasi Seroja. Bagi militer Indonesia, inilah operasi terbesar yang pernah dilakukan—melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara secara serentak.
Namun bagi dunia internasional, hari itu menjadi awal dari satu narasi tunggal: bahwa Indonesia adalah penjajah, dan Operasi Seroja adalah sebuah invasi.
Label “invasi” itulah yang bertahan dalam buku sejarah, resolusi PBB, bahkan dalam opini masyarakat global hingga hari ini. Ia terus hidup bukan karena kekuatan bukti hukum, tetapi karena keberhasilan satu pihak—FRETILIN—menguasai panggung narasi dunia. Sementara kelompok-kelompok lain yang menjadi korban kekejaman FRETILIN—seperti APODETI, UDT, dan ribuan rakyat sipil—dipaksa lenyap dari sejarah resmi. Mereka yang meminta tolong, mereka yang mati dibantai, tak sempat menulis kisahnya sendiri.
Dunia seolah memilih mengabaikan kenyataan bahwa jauh sebelum 7 Desember 1975, Timor Timur telah lebih dulu terjerumus ke dalam neraka perang saudara. Portugal, sebagai kekuatan kolonial, hengkang begitu saja tanpa proses dekolonisasi yang tertib. Dalam kekosongan itu, FRETILIN dengan cepat mengambil alih senjata dan menyingkirkan saingan politiknya dengan cara yang brutal: penangkapan massal, penyiksaan, dan pembantaian dalam sunyi. Tidak ada pertempuran terbuka, yang ada adalah eksekusi-eksekusi dingin.
Apa yang jarang disinggung dalam narasi global adalah kenyataan bahwa sebelum satu pun pasukan Indonesia menginjakkan kaki di Dili, sudah ada seruan resmi yang datang dari dalam Timor Timur sendiri. Pada 7 September 1975, UDT mengirim surat kepada pemerintah Indonesia, memohon bantuan untuk menetralkan kekacauan yang kian mematikan. Kemudian, pada 30 November 1975, empat partai utama—APODETI, UDT, KOTA, dan Trabalhista—mengumumkan Deklarasi Balibo: sebuah permintaan terbuka agar Indonesia segera bertindak menghadapi dominasi sepihak Fretilin yang merusak tatanan dan mengancam nyawa rakya
Sayangnya, ketika kekejaman datang dari pihak yang kemudian tampil sebagai “pejuang kemerdekaan”, dunia memilih bungkam. Tidak ada resolusi PBB yang dikirim saat FRETILIN mengisi kamp-kamp tahanan dengan lawan politiknya. Tidak ada wartawan asing yang memberitakan ribuan nyawa yang hilang dari pihak pro-integrasi. Dunia diam.
Arnaldo dos Reis Araújo, tokoh APODETI dan Ketua Pemerintahan Sementara Timor Timur tahun 1976, pernah melontarkan sebuah gugatan yang tajam kepada utusan PBB, Winspeare Guicciardi, yang datang menemuinya: “Di mana kalian ketika kami dibantai?”
Pertanyaan itu bukan sekadar ungkapan emosi, melainkan seruan sejarah—gugatan moral dari mereka yang pernah memohon pertolongan namun dikhianati oleh sunyinya dunia.
Dan ketika Indonesia akhirnya bertindak, dunia justru berteriak. Ketika pasukan diterjunkan bukan untuk menaklukkan, tetapi untuk meredakan konflik akibat kekacauan dan kebiadaban politik, dunia dengan enteng melabelinya sebagai penjajah.
Ironis, bukan? Ketika darah sudah mengalir, dan permohonan tolong telah lama bergema, dunia memilih bungkam. Tetapi begitu tangan penolong datang, mereka mengutuknya. Hari ini, prinsip Responsibility to Protect (R2P) telah diakui oleh PBB—sebuah doktrin bahwa ketika sebuah wilayah gagal melindungi rakyatnya dari pembantaian massal, maka dunia berkewajiban untuk bertindak. Tapi Indonesia sudah lebih dulu melakukannya, bahkan sebelum prinsip itu lahir.
Kita mengenang genosida Rwanda, 1994—800 ribu nyawa hilang karena dunia terlambat bertindak. Dunia bereaksi di Kosovo untuk mencegah horor serupa. Tapi ketika Indonesia bertindak lebih awal, demi mencegah runtuhnya kemanusiaan di Timor Timur, dunia justru menutup mata terhadap tragedi yang melatarbelakangi langkah itu—dan memilih menghakimi.
Pada dekade yang sama, India mengintervensi Pakistan Timur dan melahirkan Bangladesh, Tanzania menjatuhkan rezim Idi Amin di Uganda, dan Vietnam mengakhiri kekuasaan Khmer Merah di Kamboja. Semuanya adalah bentuk intervensi militer atas dasar kemanusiaan, yang kini diterima dalam literatur hukum internasional sebagai humanitarian intervention.
Namun berbeda dengan semua itu, Indonesia tidak bertindak sendiri. Tidak seperti NATO di Kosovo yang tidak memiliki persetujuan lokal, Indonesia justru datang atas permintaan empat partai lokal yang sedang dihancurkan. Maka bagaimana mungkin tindakan itu masih disebut sebagai “invasi” jika inisiasinya datang dari dalam Timor sendiri? Mengapa dunia memilih standar ganda?
Intervensi Indonesia di Timor Timur bukan tanpa cela. Seperti semua operasi militer, selalu ada bayangan gelap dan konsekuensi. Tapi kita tidak bisa menilai sejarah hanya dari satu sisi narasi. Jika dunia menyesali keterlambatan di Rwanda, jika dunia mengecam ketidakberdayaan di Bosnia, mengapa ketika Indonesia bertindak lebih cepat—meski atas permintaan dari dalam masyarakat lokal—dunia justru menghukumnya?
Inilah paradoks kemanusiaan yang menyakitkan. Terkadang, pilihan bukan antara baik dan buruk, tapi antara buruk dan lebih buruk. FRETILIN, dengan segala kekejamannya, lolos dari penghakiman sejarah. Sementara Indonesia, yang berusaha menghentikan pembantaian, terus dibebani cap penjajah.
Jika dunia ingin belajar dari masa lalu, maka ia harus berani menoleh ke seluruh kisah, bukan hanya bagian yang nyaman untuk diterima. Timor Timur 1975 adalah pelajaran bahwa diamnya dunia bisa menjadi legitimasi bagi kekejaman, dan bahwa intervensi yang dibenci hari ini, mungkin adalah penyelamatan yang dibutuhkan kemarin.
Dan hari ini, ketika R2P telah menjadi norma global, kita harus bertanya lagi: apakah dunia akan bersikap adil, atau akan terus menilai kebenaran dari siapa yang paling lantang bersuara, bukan dari siapa yang paling keras berteriak meminta tolong?

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama