R2P dan Timor Timur 1975: Ketika Indonesia Bertindak Saat Dunia Diam

Di dunia internasional, ada momen-momen ketika nilai-nilai yang diklaim dijunjung tinggi—seperti hak asasi manusia dan perlindungan terhadap rakyat sipil—runtuh seketika di hadapan kepentingan politik dan kebisuan global. Rwanda 1994. Srebrenica 1995. Aleppo 2016. Kita mengenal semua tragedi ini karena dunia akhirnya mengakui bahwa mereka telah gagal. Namun sebelum semuanya itu, ada satu tragedi yang dilupakan, bahkan sengaja dihapus dari ingatan kolektif umat manusia: Timor Timur 1975.
Tragedi itu bukan hanya tentang kekejaman dan konflik. Ia juga tentang kemunafikan global dan tentang sebuah bangsa yang berani bertindak ketika dunia memilih berpangku tangan. Dan inilah yang membuat prinsip Responsibility to Protect (R2P) yang disepakati dunia pada tahun 2005 menjadi refleksi penting atas apa yang terjadi di Timor Timur—tiga dekade sebelumnya.
R2P: Lahir dari Rasa Bersalah
Konsep R2P atau Responsibility to Protect lahir bukan karena dunia mendadak sadar, tapi karena dunia malu. Setelah ratusan ribu orang dibantai di Rwanda dalam waktu kurang dari 100 hari pada tahun 1994, banyak negara yang mempertanyakan: Mengapa PBB tidak bertindak? Mengapa negara-negara besar hanya mengeluarkan pernyataan prihatin? Mengapa tidak ada yang mengirim pasukan sebelum terlalu terlambat?
Hal yang sama terjadi di Bosnia, ketika pada tahun 1995 pasukan Serbia membantai 8.000 warga Muslim Bosnia di Srebrenica, yang saat itu sebenarnya berada di bawah "perlindungan" PBB. Dan ketika NATO akhirnya bertindak di Kosovo pada tahun 1999 tanpa mandat Dewan Keamanan, dunia pun terbagi: apakah itu pelanggaran hukum internasional atau pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan?
Dalam kekacauan moral itulah R2P hadir. Konsep R2P secara resmi diadopsi oleh para pemimpin dunia pada KTT Dunia PBB tahun 2005. Semua negara sepakat bahwa melindungi rakyat dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tanggung jawab utama negara. Jika negara gagal, maka komunitas internasional memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk bertindak, termasuk melalui intervensi militer sebagai pilihan terakhir.
Namun, bagaimana jika prinsip ini sudah ada pada tahun 1975? Apakah dunia akan berpihak pada Indonesia—yang saat itu datang untuk menghentikan pembantaian di Timor Timur?
Portugal Pergi, Kekosongan Kekuasaan Tercipta
Saat Portugal secara tiba-tiba melepaskan Timor Timur tanpa transisi yang jelas, wilayah itu jatuh ke dalam kekosongan kekuasaan. Situasi cepat berubah menjadi kacau: kelompok bersenjata FRETILIN mengambil alih wilayah, memulai fase baru kekerasan—bukan melawan kolonialisme, tapi terhadap sesama rakyat Timor sendiri. FRETILIN, melalui milisi bersenjata dan kekuatan militernya, memburu anggota partai saingan: APODETI, UDT, KOTA, dan Trabalhista. Ribuan warga ditangkap tanpa pengadilan. Banyak yang disiksa, dibunuh, atau dipenjarakan dalam kamp tahanan. Bahkan di dalam tubuh FRETILIN sendiri terjadi pembersihan brutal.
Sersan Aqiles, salah satu tokoh militer FRETILIN, dieksekusi, Xavier do Amaral, Presiden FRETILIN pertama, dijebak dan dikudeta, Istrinya diperkosa dan dijadikan budak seks oleh komandan-komandan FRETILIN. Anak-anaknya ditelantarkan. 12 pengawalnya dibantai.langsung Kamp-kamp penahanan penuh dengan penderitaan warga sipil yang bahkan tidak tahu mengapa mereka ditangkap.
Sementara itu, dunia tidak mengatakan apa pun. Tidak ada pasukan penjaga perdamaian. Tidak ada resolusi Dewan Keamanan. Bahkan media Barat, yang biasanya cepat memberitakan kekejaman, memilih diam.
Permintaan Tolong dari Dalam Timor Timur
Di tengah kekacauan ini, para pemimpin partai-partai non-FRETILIN menyadari bahwa mereka tidak akan mampu bertahan lama. Maka pada 7 September 1975, Partai UDT mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia, memohon bantuan militer untuk menyelamatkan rakyat Timor Timur dari genosida politik.
Tak lama kemudian, pada 30 November 1975, empat partai—APODETI, UDT, KOTA, dan Trabalhista—menandatangani Deklarasi Balibo, yang secara eksplisit meminta Indonesia untuk melakukan intervensi militer demi menghentikan pembantaian oleh FRETILIN dan menstabilkan situasi politik.
Dan Indonesia pun merespons. Operasi Seroja, yang dilancarkan pada 7 Desember 1975, adalah respons militer besar yang mengubah wajah Timor Timur. Tapi juga membuka bab baru dalam sejarah: babak di mana Indonesia tidak dikenang sebagai penyelamat, tetapi dicap sebagai penjajah.
Apakah Intervensi Indonesia Sah Menurut Prinsip R2P?
Pertanyaan besar yang perlu diajukan adalah ini: Jika prinsip R2P sudah berlaku pada 1975, apakah tindakan Indonesia memenuhi kriterianya?
Jawabannya adalah: ya.
Mari kita lihat elemen-elemen kunci dari R2P:
  1. Terjadi Kejahatan Kemanusiaan Masif
Ya. Ribuan warga Timor Timur dibunuh, disiksa, dan dipenjarakan tanpa proses hukum oleh FRETILIN.
2.Negara Gagal Melindungi Rakyatnya
Ya. Portugal telah pergi dan tidak lagi punya kekuatan atau kemauan untuk melindungi warga Timor Timur.
3.Permintaan Bantuan dari Aktor Lokal
Ya. Surat UDT 7 Sepytember 1975, Deklarasi Balibo 30 November 1975, adalah dokumen politik yang sah dan eksplisit meminta Indonesia turun tangan.
4.Intervensi sebagai Upaya Terakhir
Ya. PBB tidak bertindak. Negara-negara Barat tidak bergerak. Indonesia-lah satu-satunya yang merespons permintaan tolong itu.
Bandingkan dengan kasus Kosovo tahun 1999, ketika NATO melakukan intervensi militer tanpa mandat PBB dan tanpa permintaan dari pemerintah Yugoslavia. Meskipun demikian, dunia tetap memuji intervensi itu sebagai langkah kemanusiaan. Maka mengapa intervensi Indonesia tidak mendapatkan penghargaan yang sama?
Mengapa Dunia Justru Mengutuk?
Jawabannya terletak pada narasi dan politik global. FRETILIN berhasil membentuk citra sebagai "pejuang kemerdekaan" di mata internasional. Mereka membungkus kekejamannya dengan retorika kemerdekaan dan perlawanan. Tokoh-tokoh seperti José Ramos-Horta dan Xanana Gusmão piawai menjalin hubungan diplomatik di luar negeri, khususnya dengan media dan LSM internasional. Mereka berhasil membalikkan kenyataan bahwa mereka adalah pelaku kejahatan sebelum menjadi korban konflik.
Di sisi lain, Indonesia dipandang dengan curiga. Sebagai negara besar di Asia Tenggara yang dekat dengan Amerika Serikat dan Blok Barat, langkah militer Indonesia dicurigai sebagai bagian dari ekspansi wilayah, bukan upaya kemanusiaan. Dunia Barat yang sinis terhadap rezim militer Indonesia lebih suka mempercayai versi cerita dari FRETILIN yang bergaya “David vs Goliath”.
Lebih ironis lagi, standar ganda pun terjadi. Ketika NATO menyerang Libya pada 2011 atas nama melindungi rakyat dari Khadafi, dunia bertepuk tangan. Tapi ketika Indonesia menyelamatkan rakyat Timor dari kekejaman FRETILIN, dunia mencemooh.
SUATU PERTANYAAN YANG TAK PERNAH DIJAWAB DUNIA
Ketika utusan khusus PBB, Winspeare Guicciardi, mengunjungi Timor Timur untuk menyampaikan sikap resmi PBB terkait masa depan wilayah itu, Arnaldo dos Reis Araújo—pemimpin APODETI sekaligus Ketua Pemerintahan Sementara Timor Timur (PSTT) —mengajukan satu pertanyaan yang tajam dan menyakitkan:
“Dimanakah kalian (PBB dan dunia) saat kami dibantai oleh FRETILIN?”
Pertanyaan itu tidak pernah dijawab hingga hari ini. Dan barangkali tidak akan pernah dijawab. Tapi justru di situlah letak kebenaran sejarah yang harus terus kita suarakan: Indonesia tidak datang untuk menjajah. Indonesia datang karena dunia memilih untuk tidak datang.
R2P Bukan Sekadar Dokumen, Tapi Prinsip yang Harus Adil
Sejarah Timor Timur pada tahun 1975 adalah refleksi nyata atas prinsip R2P, bahkan sebelum prinsip itu dirumuskan. Indonesia, dalam segala keterbatasan dan risiko politiknya, bertindak ketika komunitas internasional gagal total. Jika R2P ingin benar-benar menjadi prinsip universal, maka pengakuan terhadap kebenaran sejarah ini menjadi syarat moral yang tak bisa ditawar.
Mereka yang mencemooh intervensi Indonesia seharusnya juga bertanya kepada diri mereka sendiri: apa yang telah mereka lakukan saat pembantaian terjadi? Dan bagi komunitas internasional, inilah waktunya untuk merehabilitasi narasi yang selama ini timpang.
Penutup: Sejarah Adalah Pengingat, Bukan Alat Politik
Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi kita bisa memperjuangkan agar kebenaran sejarah tidak dikubur oleh kepentingan politik. Intervensi Indonesia di Timor Timur adalah tindakan moral, bukan ambisi kolonial. Dan dunia harus memiliki keberanian untuk mengakui hal itu.
R2P bukan hanya tentang masa depan, tapi juga tentang membaca ulang masa lalu dengan adil. Jika prinsip ini ingin bertahan sebagai nilai universal, maka ia harus tegak bukan hanya di Kosovo dan Libya, tetapi juga di Timor Timur.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama