Namun justru di sinilah letak masalahnya.
Berita ini secara tidak langsung membongkar kepada publik bahwa misi utama UNAMET saat pelaksanaan jajak pendapat di Timor Timur bukanlah murni untuk memfasilitasi pilihan bebas rakyat, melainkan bagian dari proyek politik internasional untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Pesta perayaan ini adalah pengakuan terbuka—tanpa rasa malu—bahwa mereka memang sejak awal berpihak.
Tidak perlu menjadi ahli politik untuk melihat keberpihakan ini. Terlalu vulgar. Terlalu terang. Seorang yang dulunya disebut netral, kini berdiri di barisan yang satu. Dan dunia diam.
Padahal, sikap semacam ini berbahaya. Karena ketika lembaga seperti PBB yang mengatasnamakan keadilan dan perdamaian, justru ikut terlibat merancang hasil dari sebuah konflik, maka kepercayaan terhadap netralitas mereka hancur. Apa bedanya dengan pemain yang juga merangkap sebagai wasit?
Dan yang paling dirugikan dari semua ini adalah komunitas Integrasionis Timor Timur. Integrasionis kehilangan segalanya—tanah, rumah, hak suara yang sejati—karena praktik manipulatif yang dikemas dalam misi internasional.
Dunia seharusnya tidak tinggal diam.
Perayaan ini bukan sekadar kenangan, tapi sebuah sinyal berbahaya bahwa kekuatan internasional bisa berpihak, bisa mendesain masa depan suatu bangsa sesuai kepentingan mereka—dan tetap lolos dari pertanggungjawaban.
Kami berharap publik dunia, peneliti sejarah, dan institusi netral di seluruh dunia mulai mengkaji ulang peran UNAMET, dan memberi tempat bagi kebenaran yang selama ini disembunyikan di balik senyum kemenangan dan parade penuh selebrasi.