SEANDAINYA USKUP BELO TEWAS PADA 1999: AKANKAH DUNIA LANGSUNG MENGHUKUM INDONESIA? Refleksi atas Kematian Sander Thoenes dan "License to Kill" dalam Konflik Timor Timur

Panggung Sandiwara Global
Dunia selalu punya cara tersendiri dalam menulis sejarah. Di Timor Timur, narasi dibentuk bukan oleh fakta, melainkan oleh siapa yang paling lantang bersuara. Fretilin, dengan jaringan propaganda yang terorganisir, berhasil menjual kisah heroik perlawanan kepada dunia, sementara suara mereka yang mendukung integrasi perlahan tenggelam dalam pusaran kecurigaan.
Media internasional, LSM, dan bahkan PBB sering kali menerima begitu saja klaim-klaim sepihak tanpa verifikasi mendalam. Hasilnya, setiap kekerasan, setiap mayat yang bergelimpangan, langsung diberi cap: "Ini pasti ulah TNI!" Sebuah tuduhan otomatis yang mengabaikan kemungkinan bahwa konflik ini jauh lebih kompleks daripada sekadar hitam dan putih.
Lalu, bagaimana jika salah satu tokoh paling simbolis di Timor Timur—seorang uskup penerima Nobel Perdamaian—tewas di tengah kerusuhan 1999? Akankah dunia berhenti sejenak untuk mencari kebenaran, atau langsung menghakimi Indonesia?

Evakuasi Uskup Belo: Sebuah Ironi yang Terlupakan
September 1999. Dili dalam keadaan kacau balau. Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, figur yang dihormati oleh kedua belah pihak, dievakuasi. Yang menarik—dan jarang diungkap—adalah bahwa proses penyelamatannya justru dilakukan oleh Polri dan warga pro-Integrasi.
Mereka tahu betul risiko politiknya: "Jika sesuatu terjadi pada Uskup Belo, Indonesia akan dikutuk dunia." Maka, mereka memilih untuk melindunginya, meskipun Belo sendiri dikenal sebagai figur yang kritis terhadap pemerintah Indonesia.
Tapi bayangkan jika skenarionya berbeda. Bayangkan jika Uskup Belo ditemukan tewas dengan luka tembak di punggung. Akankah ada ruang untuk penyelidikan yang adil? Atau dunia akan langsung meneriakkan "TNI pembunuh!" seperti yang sudah menjadi kebiasaan?
Kasus Sander Thoenes adalah bukti nyata betapa mudahnya opini global dibentuk tanpa pertimbangan fakta.

Sander Thoenes: Korban atau Alat Propaganda?
Sander Thoenes adalah wartawan Belanda yang bekerja untuk The Financial Times, tewas pada September 1999, di tengah kerusuhan pasca-Jajak Pendapat. Dunia internasional dengan cepat menyalahkan TNI, tapi sedikit yang mau melihat fakta di lapangan.
Jenazah Thoenes ditemukan di Kuluhun, wilayah yang saat itu dikuasai oleh kelompok anti-Integrasi. Ia tidak tewas ditembak—tubuhnya justru menunjukkan tanda-tanda kekerasan yang lebih brutal: luka tusuk di dada, bacokan, dan telinga yang hilang. Ciri-ciri eksekusi ala kelompok bersenjata non-formal, bukan metode standar TNI.
Letjen (Purn.) Kiki Syahnakri dan bahkan komandan INTERFET, Jenderal Peter Cosgrove, melihat langsung kondisi jenazahnya. Tapi narasi yang mendunia tetaplah sama: "TNI membunuh jurnalis."
Pertanyaan yang tidak pernah terjawab:
.Mengapa Thoenes terakhir kali terlihat bersama pendukung Fretilin?
.Mengapa ia memasuki zona konflik tanpa pengawalan resmi?
Dan yang paling penting—mengapa dunia tidak pernah mempertanyakan kemungkinan bahwa ia bisa saja menjadi korban false flag operation?
Sejarah mencatat, dalam konflik-konflik separatisme, tidak jarang pihak pemberontak sengaja mengorbankan orang luar untuk memicu kemarahan internasional. Apakah Thoenes menjadi salah satu korban dari skenario semacam itu?

Licence to Kill: Kekebalan Moral bagi Separatis Fretilin
Yang paling memilukan dari konflik Timor Timur bukan hanya kekerasannya, melainkan standar ganda yang diterapkan dunia internasional.
Fretilin boleh membantai ribuan pendukung UDT dan Apodeti pada 1975-1976. Mereka boleh menyiksa, membersihkan lawan politik, dan bahkan mungkin memanipulasi kematian orang netral seperti Thoenes. Tapi selama itu dilakukan atas nama "perjuangan kemerdekaan", dunia akan menutup mata.
Sementara itu, setiap tindakan TNI—bahkan yang sifatnya defensif—langsung dicap sebagai pelanggaran HAM.
Inilah license to kill yang paling berbahaya: kekebalan moral yang diberikan kepada mereka yang dianggap "pejuang kemerdekaan", meskipun tangan mereka berlumuran darah.

JIFAV:Suara dari Timor Timur yang Tahu Siapa Sesungguhnya yang Berdusta
Dalam konflik Timor Timur, sesama orang Timor sebenarnya tahu persis siapa yang berdusta dan siapa yang memanipulasi. Kami hidup di tengah realitas pahit itu. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sebuah tragedi bisa dijadikan alat propaganda, bagaimana kebohongan bisa disulap menjadi “kebenaran internasional”, dan bagaimana dunia luar—terutama negara-negara Barat—menelan bulat-bulat narasi sepihak hanya karena sentimentil ideologis dan kebencian historis terhadap Indonesia.
Di tengah kemunafikan itulah, JIFAV – Justice for Apodeti Victims berdiri, bukan hanya untuk memperkarakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Fretilin pada masa perang saudara 1975 dan sesudahnya—terhadap anggota dan simpatisan APODETI, UDT, dan rakyat pro Integrasi—tetapi juga untuk membongkar seluruh kepalsuan yang telah menipu opini global selama puluhan tahun. Dunia telah salah arah. Dunia tidak pernah mempertanyakan apakah para “pejuang kemerdekaan” itu benar-benar tanpa dosa. Justru sebaliknya—mereka diberikan imunitas moral hanya karena memakai label “perlawanan”.
Fretilin dan jaringan perlawanan lainnya telah menipu dunia internasional dengan memainkan peran korban secara sistematis, sekaligus menyembunyikan jejak kejahatan mereka sendiri: penyiksaan, eksekusi tanpa proses hukum, pembersihan internal berdarah, dan teror terhadap rakyat sipil yang dianggap “tidak sepaham”. Mereka tidak pernah dipertanyakan. Mereka tidak pernah diperiksa. Mereka tidak pernah dimintai pertanggungjawaban. Dunia memalingkan muka.
Lebih dari itu, tuduhan-tuduhan sepihak yang terus-menerus diarahkan kepada Indonesia—tanpa proses verifikasi yang netral—telah menguntungkan posisi politik Fretilin dan kelompok anti-Integrasi lainnya. Dengan menjadikan Indonesia sebagai kambing hitam tunggal atas setiap kekerasan yang terjadi, mereka mendapat ruang untuk membunuh siapa saja tanpa dituduh. Mereka tahu, siapa pun yang mati, asal mayatnya dibiarkan di jalan dan diberi narasi “milisi pro-Indonesia”, maka dunia akan langsung menyalahkan TNI. Bahkan bila pelakunya mereka sendiri.
JIFAV meyakini ada banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh mereka sendiri, secara sadar dan terorganisir, demi menyudutkan Indonesia. Salah satu contoh nyata adalah kematian wartawan asing Sander Thoenes pada September 1999, yang hingga kini tetap dicap sebagai korban “kekejaman TNI”, meskipun bukti-bukti lapangan justru menunjukkan bahwa ia tewas akibat luka bacok dan tusukan, ditemukan di wilayah basis Fretilin, dan terakhir terlihat bersama warga lokal anti-Integrasi. Namun dunia tidak ingin tahu. Karena bagi dunia, narasinya sudah final: Indonesia bersalah, Fretilin benar.
Karena itu, JIFAV tidak hanya berbicara soal sejarah masa lalu—kami juga berbicara tentang kebenaran yang dikubur demi kepentingan politik. Kami adalah suara dari mereka yang selama ini dibungkam. Kami adalah rakyat Timor Timur yang tahu siapa yang sesungguhnya bersalah. Dan kini, kami bersuara.

Sudah waktunya dunia mendengarkan suara kami.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama