Justice for Apodeti Victims (JIFAV) didirikan sebagai wadah perjuangan moral dan hukum bagi para korban kekejaman politik Fretilin selama periode krisis Timor Timur, khususnya sejak meletusnya perang saudara tahun 1975. Gerakan ini bukan sekadar gerakan nostalgia historis, tetapi sebuah perlawanan terhadap pelupaan, pengaburan sejarah, dan ketidakadilan global yang selama ini menutupi kejahatan-kejahatan yang dilakukan atas nama "kemerdekaan."
Satu hal yang perlu ditegaskan sejak awal adalah bahwa JIFAV tidak mengakui keberadaan entitas bernama “Timor Leste”. Bagi kami, entitas ini lahir dari suatu konspirasi internasional, hasil manipulasi politik oleh kekuatan-kekuatan asing seperti PBB, Portugal, dan Australia yang masing-masing memiliki agenda terselubung atas wilayah Timor Timur. Proses pembentukannya mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi sejati dan menghapus sejarah kelam perang saudara yang justru menjadi akar penderitaan rakyat Timor Timur sendiri.
Kekosongan Kekuasaan dan Hukum Rimba
Ketika Portugal melarikan diri tanpa menyelesaikan tanggung jawab kolonialnya sebagai administering power, Timor Timur jatuh ke dalam kekosongan kekuasaan (power vacuum). Dari kekosongan ini, lahirlah kekuasaan tanpa hukum – sebuah situasi yang menyeret rakyat Timor Timur ke dalam hukum rimba.
Dalam konteks inilah Fretilin, yang semula hanyalah salah satu partai politik, berubah menjadi kekuatan militer represif yang menguasai wilayah dan melakukan kejahatan kemanusiaan secara brutal: pembunuhan tahanan politik, penghilangan paksa, pemerkosaan, dan penyiksaan. Dunia internasional – termasuk PBB dan organisasi-organisasi HAM – diam seribu bahasa.
Mengapa Integrasi Didukung?
Realitas hukum rimba inilah yang membuka mata banyak partai dan tokoh lokal, termasuk yang sebelumnya tidak bercita-cita pada integrasi, untuk kemudian mendukung kehadiran Indonesia sebagai solusi praktis. Kedatangan pasukan Indonesia bukan sekadar “invasi” seperti yang dipropagandakan Fretilin dan kelompok anti-integrasi, melainkan langkah penyelamatan dari kekacauan dan pembantaian.
Dengan masuknya Indonesia, Timor Timur memasuki fase baru, yaitu fase keteraturan dan kepastian hukum. Terbentuklah Pemerintahan Sementara Timor Timur yang mulai menjalankan fungsi-fungsi administrasi, hukum, dan perlindungan rakyat. Meskipun belum ideal, kehadiran struktur pemerintahan ini berhasil menghentikan dominasi sepihak satu kelompok dan menekan brutalitas yang sebelumnya merajalela. Indonesia mungkin memiliki kekurangan, namun kehadirannya jauh lebih bermakna dibanding masa kekuasaan Fretilin yang diwarnai kekosongan hukum, teror, dan pembunuhan sewenang-wenang tanpa pertanggungjawaban.
Tuntutan JIFAV: Portugal dan Fretilin Harus Diadili
JIFAV akan terus mendorong dan mendesak agar kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan Fretilin selama periode 1975–1976 diseret ke ranah hukum internasional. Portugal sebagai kekuatan kolonial yang kabur dan membiarkan terjadinya kekacauan, harus turut bertanggung jawab. Mereka menciptakan ruang tanpa hukum di mana kekejaman bisa dilakukan tanpa akuntabilitas.
Dunia selama ini hanya menyimak narasi sepihak: seolah semua masalah dimulai setelah intervensi Indonesia 7 Desember 1975. Padahal jauh sebelum itu, orang Timor Timur sudah saling membunuh dalam perang saudara. Inilah kebenaran yang selama ini dibungkam.
Bukan Soal Bilateral, Tapi Soal Keadilan
JIFAV tidak ikut dalam diskursus "hubungan bilateral Indonesia–Timor Leste" karena itu berarti kami mengakui eksistensi entitas yang lahir dari penipuan sejarah. Kami tidak berbicara politik luar negeri, kami berbicara tentang keadilan dan pertanggungjawaban.
Inilah tugas kita: mengangkat suara korban yang dilupakan, menyibak tabir manipulasi sejarah, dan menyeret para penanggung jawab ke muka hukum. Dunia harus tahu kebenaran yang utuh, bukan narasi setengah hati yang ditulis oleh pemenang.