KETIKA KAMI DIHINA, PADAHAL KALIANLAH YANG MENIKMATI INTEGRASI - BERHENTILAH MUNAFIK!

OlehBasmeri Integrasionis

Sebulan belakangan ini Saya menerima banyak pesan langsung dari Timor Leste—penuh hinaan dan cercaan yang ditujukan kepada kami, para Integrasionis. Semua itu muncul karena tulisan-tulisan saya menggugah sesuatu yang selama ini mereka tutupi: kebenaran yang tak nyaman bagi mereka.
Mereka menyebut kami "traidor", "faan rai", dan sebutan-sebutan busuk lainnya yang mereka pikir bisa menghapus jejak perjuangan kami. Lucunya, ketika mereka menulis sejarah versi mereka sendiri—di forum-forum mereka, di buku-buku mereka—mereka bebas membual sesuka hati tentang apa yang mereka sebut "perjuangan kemerdekaan", dan tak seorang pun dari kami menyuruh mereka berhenti. Tak ada yang mengintimidasi mereka. Tak ada yang melarang mereka berkisah.
Namun yang terjadi, ketika kami mulai menulis—ketika kami membuat ruang, forum, atau media yang mengakomodir perjuangan dan ingatan kami sebagai para Integrasionis—mereka langsung marah. Mereka mencaci-maki, menyerang dengan hinaan dan intimidasi. Mereka menyebut kami pengkhianat, budak Indonesia, dan bermacam label lain yang lahir dari kepanikan mereka sendiri. Seolah hanya mereka yang berhak menulis sejarah. Seolah hanya mereka yang boleh bicara soal masa lalu Timor.
Karena itu, saya merasa sudah saatnya memberi tanggapan. Bukan tanggapan lemah, tapi tanggapan keras dan tegas. Kita sesama orang Timor tahu, siapa melakukan apa. Kita tahu sejarah itu tidak sehitam-putih propaganda. Dan saya akan ungkapkan semua secara terang, agar publik dunia bisa melihat dan menilai: siapa sebenarnya yang memanipulasi sejarah untuk membenarkan kekerasan; siapa yang membungkam perbedaan suara; dan siapa pula yang sejak awal berjuang untuk martabat rakyat Timor dalam bingkai NKRI, namun justru dikhianati oleh permainan politik dan konspirasi internasional.
Sudah waktunya menunjukkan sikap. Jika mereka bebas menulis sejarah mereka, maka kami pun berhak menyuarakan kebenaran dari sisi kami.
Jika mereka tidak ingin mendengar kebenaran ini, itu bukan urusan kami. Kami menulis bukan untuk mendapat restu mereka, tapi untuk menyampaikan bahwa ada sisi lain dari sejarah Timor Timur yang selama ini sengaja dibungkam. Dan kami tidak akan diam lagi. Oleh karena itu kepada kalian, para penentang kami dari kelompok anti integrasi—saya sampaikan tanggapan ini dengan tajam dan jelas. Lima jari saya mengarah langsung ke wajah kalian, karena saya tidak bicara di belakang.
Kepada Kalian yg menentang kami, Kami, para Integrasionis, tidak pernah sekalipun menyesali perjuangan kami untuk membawa Timor Timur menjadi bagian sah dari Republik Indonesia. Dan lebih dari itu: kami TIDAK PERNAH merasa perlu ikut menikmati apa yang tidak kami perjuangkan. Kami punya integritas.
Ironisnya, kalianlah yang pernah menikmati kue Integrasi, Kalian menyusu dari Indonesia, tumbuh besar dari ASI Republik, lalu setelah kenyang dan kuat, kalian meludah ke tangan yang dulu memberi makan. Kalian menikmati pendidikan gratis, layanan kesehatan, jabatan di pemerintahan, bahkan akses ke kampus dan dunia luar yang dibuka lebar oleh perjuangan yang kami tegakkan. Semua fasilitas dari Indonesia kalian sedot habis. Tapi begitu angin politik berubah, kalian menjelma jadi pahlawan kesiangan, berselimut bendera baru yang dibayar lunas dengan air susu Republik yang kalian habiskan tanpa rasa malu! Yang justru harusnya malu adalah kalian—anak-anak dari masa Integrasi yang dulunya berebut seragam sekolah gratis. Punya mukakah kalian untuk berhadapan dengan kami, para Integrasionis, yang bahkan tak sudi sebut diri warga negara kalian?
Dan kini, kalian menuduh kami penjual tanah? Kalian yang ikut makan dari hasil perjuangan kami? Sungguh, perlu cermin sebesar langit untuk menampung kemunafikan macam ini.
Kami, Integrasionis, tidak pernah mencicipi hasil dari proyek negara kalian yang kalian sebut “merdeka” itu. Kami tidak rebut jabatan, tidak merebut fasilitas, bahkan tidak mengemis pengakuan. Karena kami berpegang pada integritas. Kami tidak menjual prinsip untuk sesuap kekuasaan.
Kami berdiri di luar, karena kami menolak menjadi bagian dari kebohongan dan rekayasa PBB dan antek-anteknya.
Dan kalian, yang hari ini berkata bahwa kalian “membayar” sekolah dan rumah sakit dengan “darah rakyat yang dibantai TNI”jangan terlalu cepat bermain drama. Banyak dari insiden itu justru hasil desain kalian sendiri. Diciptakan untuk melahirkan martir, agar dunia bersimpati, dan kalian bisa memanfaatkan darah saudara kalian sendiri sebagai tiket menuju kemerdekaan palsu. Sejarah mencatatnya. Dan sejarah juga akan menilai siapa yang menjual tanah, dan siapa yang tetap menjaga harga diri.
Jadi sebelum kalian kembali membuka mulut untuk mencaci Integrasionis, lihatlah ke cermin. Lihat siapa sebenarnya yang berkhianat. Lalu tanya pada diri sendiri: masih pantaskah kami mengaku pahlawan, jika kami lahir dan besar dari apa yang kami hina hari ini?
Dan satu hal yang perlu digarisbawahi: kalau ada yang pantas berbicara atau bahkan berselisih pendapat dengan kami para Integrasionis, itu adalah orang-orang yang sungguh-sungguh berjuang di hutan: eks gerilyawan sejati seperti Taur Matan Ruak atau Lu Olo. Mereka tidak pernah menikmati susu integrasi. Mereka melawan dari awal sampai akhir, dan itu konsisten. Mereka tidak doyan kue Indonesia.
Tapi kalian? Yang sekolah di bawah bendera Merah Putih? Yang menyanyi “Indonesia Raya” setiap Senin pagi? Yang orang tuanya PNS, ABRI, atau penerima bantuan Indonesia? Yang masuk kantor pakai seragam buatan Jakarta dan gaji dari APBN? Kalian sama sekali tidak punya posisi moral untuk menghakimi kami. Bagi kami, kalian tidak lebih dari “pengkhianat dua arah”: menolak di lidah, menerima di tangan.
Kami hanya ingin mengingatkan: Kami tidak akan ikut makan kue dari meja yang kami tidak percaya. Kami memilih keluar, menanggung segalanya sendiri, karena kami punya harga diri. Dan itu yang membedakan kami—Integrasionis—dari kalian.
Dan jangan lupa satu fragmen menyedihkan namun lucu dari sejarah pasca-integrasi: Untuk anak-anak Apodeti yang menyeberang menjadi anti-Integrasi. Dulu kalian dielu-elukan oleh gerakan anti-Indonesia, dijadikan tameng di barisan depan demonstrasi, dijadikan simbol seolah "bahkan anak para Traidor pun sadar akan kesalahan ayahnya." Kalian berdiri di barisan depan, kadang lebih galak dari bekas gerilyawan, dengan dada membusung seolah sedang menebus dosa sejarah. Tapi lihat hari ini—di mana kalian sekarang?
Apakah kalian dianggap bagian dari mereka? Tidak. Kalian bukan pejuang. Kalian bukan pahlawan. Kalian adalah alat, dan ketika fungsi itu usai, kalian dibuang seperti serpihan plastik bekas kampanye. Aktivis-aktivis Indonesia pro-demokrasi yang dulu bertaruh nyawa demi “perjuangan anti Integrasi” pun kini dilupakan oleh mereka, apalagi kalian—anak dari para Traidor? Jika sekarang kalian merasa diabaikan, dikhianati, dan tidak dianggap oleh kelompok yang dulu kalian bela mati-matian, izinkan kami berkata dengan tenang: Itu derita elo! Jangan berharap simpati dari kami.
Dan untuk kalian—yang dulu bersama kami berjuang demi tegaknya NKRI, bersuara lantang menerima Otonomi Khusus, mengangkat tinggi simbol otonomi, meski diguyur batu dan cercaan—namun setelah semua selesai, kalian memilih masuk ke Timor Leste dengan dalih "nasionalisme baru", bahkan dengan bangga mencium bendera yang dulu kalian tentang. Katanya demi kelangsungan hidup. Katanya demi menyusup. Katanya bisa kelabui sistem. Baiklah.
Kami hanya mengingatkan: kalian tetap bagian dari kami. "Jadilah mata dan telinga kami di sana". Diam-diamlah, dan bekerjalah dari dalam. Jangan sampai kalian lupa sejarah kalian yang lama. Karena kalian tahu, kami tahu, dan sejarah tahu. Jangan mempermalukan asal-usul kalian hanya demi jabatan kosong dan tepuk tangan yang cepat usang.
Dan kepada kalian yang merasa terganggu oleh suara kami, hanya ada dua pilihan: hadapi dengan argumen, atau simpan kebencian kalian dalam diam. Tapi satu hal pasti—kami tidak akan lagi mundur. Kami akan menulis, bersuara, dan menantang narasi tunggal kalian. Karena sejarah milik semua, bukan hanya milik mereka yang menang propaganda.
Dan jika suara kami terdengar keras di telinga kalian—itu bukan karena kami benci. Itu karena kami tidak ingin masa depan dilahirkan dari kebohongan yang dibungkus sebagai kepahlawanan.
Jadi berhentilah menyebut kami “traidor”—karena jika kalian memang tahu arti sejatinya, kalian akan sadar: Yang berkhianat bukanlah kami. Tapi kalian, yang menjual sejarah demi kenyamanan hari ini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama