FASISME PENDUKUNG FRETILIN Upaya Membenarkan Kekejaman dengan Propaganda dan Kebohongan Sejarah.

 oleh : Basmeri Integrasionis

Salah satu bentuk fasisme yang paling mencolok namun jarang disadari adalah ketika sekelompok orang membungkus kekejaman massal dengan narasi perjuangan. Itulah yang dilakukan oleh para pendukung Fretilin hingga hari ini: terus-menerus mencari pembenaran atas kekejaman yang mereka lakukan pada masa 1975–1976, dengan mengatasnamakan “perang.”
Mereka berkata: “Itu namanya perang, HARUS ada korban.”
Pernyataan ini tidak hanya keji, tetapi juga menyesatkan secara moral dan historis. Kita harus bertanya balik:
Siapa yang mengharuskan?
Apakah rakyat sipil Apodeti yang ditangkap lalu dibunuh massal itu sedang berperang? Apakah anak-anak, wanita, dan warga sipil yang ditahan di kamp-kamp penyiksaan Fretilin layak dianggap korban ‘perang’? Jika logika ini diterima, maka kejahatan Hitler terhadap orang Yahudi pun bisa dibenarkan. Hitler juga membuat ‘aturan’ sendiri, seperti halnya Fretilin menetapkan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati berdasarkan loyalitas politik.
Perlu ditegaskan: Perang adalah konflik bersenjata antar kekuatan yang berhadap-hadapan. Sedangkan pembantaian massal terhadap warga sipil tak bersenjata adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, dan ini jelas diatur dalam Konvensi Jenewa yang telah berlaku jauh sebelum kekejaman Fretilin dilakukan. Maka, mengklaim bahwa semua itu adalah bagian dari perang hanyalah upaya memperkecil dan meremehkan kejahatan perang. Ini adalah fasisme naratif — menyesuaikan logika moral demi memutihkan noda darah dalam sejarah mereka.
Lebih dari itu, pendukung Fretilin menyebarkan mitos yang sudah berkali-kali dipatahkan, seperti klaim “300 ribu rakyat Timor Timur dibantai oleh TNI karena Apodeti.”
Pertama, angka 300 ribu adalah hoaks yang tak pernah diverifikasi. Dari mana sumbernya? Kebiasaan mereka adalah melempar angka sesuka hati karena tahu dunia lebih percaya narasi mereka daripada fakta lapangan.
Kedua, menyalahkan Apodeti sebagai biang kekerasan hanyalah upaya mencari kambing hitam. Apodeti adalah partai yang bercita-cita integrasi, dan selama masa integrasi justru banyak tokoh Apodeti yang melindungi rakyat, bahkan mantan anggota Fretilin. Yang menyedihkan, justru ada banyak kasus anggota Fretilin sendiri yang bekerja sebagai informan SGI dan melaporkan sesama mereka demi kekuasaan. Bukti atas ini bisa dilacak dalam arsip daftar informan yang masih tersimpan hingga kini.
Lebih ironis lagi, pendukung Fretilin kerap membandingkan “kekerasan negara” Indonesia dengan pembantaian yang mereka lakukan di tahun 1975–1976.
Padahal kekejaman Fretilin lebih menyerupai Khmer Merah di Kamboja: membangun penjara ilegal, melakukan eksekusi diam-diam, dan menghilangkan manusia tanpa jejak.
Jika benar ada 300 ribu korban dibantai, mengapa tidak ada bekas?
Holocaust meninggalkan kamp konsentrasi dan tumpukan tengkorak. Genosida Rwanda meninggalkan ribuan jenazah di sungai. Kekejaman Khmer Merah meninggalkan ladang pembantaian dan tulang-belulang.
Tapi klaim 300 ribu korban TNI di Timor Timur? Tak ada jejak. Tak ada kuburan massal sebesar itu. Tak ada bukti yang proporsional dengan angka sebesar itu.
Yang ada justru sebaliknya:
  • Kuburan massal dari kekejaman Fretilin di Aileu dan Same,
  • Penjara bawah tanah yang tidak pernah diungkap dunia internasional,
  • Kisah warga Apodeti yang dibakar hidup-hidup, ditusuk, dan dibiarkan membusuk di hutan.
Jika dunia memang peduli pada HAM, seharusnya dunia juga menuntut pertanggungjawaban Fretilin dan seluruh pendukungnya — atas kekejaman, penyiksaan, dan pembantaian atas nama kemerdekaan.
Namun sayang, dunia terlalu malas memverifikasi dan terlalu cepat menyimpulkan.
Inilah wajah lain fasisme:
Saat pembunuhan massal dibungkus dengan bendera kemerdekaan, dan pelakunya dielu-elukan sebagai pahlawan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama