Sekilas terdengar bijak, tapi sebenarnya itu lahir dari ketidaksadaran bahwa kitalah korban utama dari ketidakadilan PBB. Integrasionis bukan orang luar yang sedang ikut campur rumah tangga orang. Justru kita adalah pemilik sah tanah itu, yang memilih keluar dengan kesadaran penuh sebagai bentuk protes atas rekayasa PBB, menolak tunduk pada skenario mereka, dan sampai hari ini masih menanggung derita akibat ketidakadilan itu di tanah rantau.
Dengan menerima pandangan pragmatis itu, artinya kita diam menerima ketidakadilan. Diam menerima bahwa hak kita dirampas. Diam menerima bahwa PBB lebih memilih CNRT—yang dulu juga pelaku kekerasan—sebagai pewaris tunggal.
Kalau kita sudah mengakui Timor Leste, untuk apa dulu kita keluar? Lebih baik sejak awal kita tinggal di sana dan mendukung negara itu. Tetapi sejarah mencatat kita memilih meninggalkan karena menolak ketidakadilan. Itu pilihan sadar, bukan kebetulan.
Maka yang salah bukan sikap kita, melainkan PBB yang merampas hak kita. Kalau hari ini ada Integrasionis yang merasa “cukup jadi penonton,” itu bukan realisme, melainkan kelelahan yang membuat lupa: kita bukan tamu di tanah itu, kita korban yang disingkirkan.
Karena itu, perjuangan bukan soal ikut campur urusan orang, tetapi soal menuntut keadilan di forum internasional. Dan keadilan itu tidak akan pernah datang jika kita sendiri sudah mengaku kalah dengan diam.
Tags:
Ex-Timtim