17 JULI: HARI YANG DIPILIH, HARI YANG DILUPAKAN


Ada tanggal-tanggal yang tidak sekadar tercatat dalam kalender, tetapi terpatri dalam kesadaran sejarah sebuah bangsa. Ia bukan hanya penanda waktu, melainkan penanda kehendak, keberanian, dan pilihan kolektif sebuah komunitas. Salah satu tanggal itu adalah 17 Juli 1976—hari ketika Timor Timur secara resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melalui keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Tetapi jauh sebelum palu diketuk di Gedung MPR, rakyat Timor Timur telah lebih dahulu bersuara. Pada bulan Mei 1976, melalui Ketua Presidium Sementara Timor Timur (PSTT), Arnaldo dos Reis Araújo, mereka menyampaikan Petisi Integrasi kepada Presiden Soeharto. Ini bukan inisiatif Jakarta, bukan hasil tekanan militer, melainkan kehendak tulus dari rakyat yang telah lelah dengan kekacauan pasca dekolonisasi Portugis. Petisi itu kemudian dibahas secara konstitusional dalam forum tertinggi negara: MPR. Di situlah Indonesia menjawab suara rakyat Timor dengan mekanisme yang sah. Ini bukan aneksasi. Ini adalah integrasi yang bersandar pada kehendak rakyat dan pengakuan hukum tertinggi negara.
Namun kini, 17 Juli berlalu nyaris tanpa makna dalam ruang publik kita. Tidak terdengar dalam pidato kenegaraan, tidak tercetak dalam buku pelajaran, tidak masuk dalam narasi sejarah arus utama. Ironisnya, di tengah lupa kolektif itu, justru berkembang wacana-wacana baru yang menggugat kebangsaan: “keadilan sejarah,” “identitas lokal,” hingga “hak menentukan nasib sendiri”—seolah-olah keutuhan Indonesia adalah produk paksaan.
Lalu siapa yang benar-benar diingat dalam sejarah kita? Sayangnya, mereka yang setia justru dilupakan, sementara yang berpaling malah diberi panggung. Selama lebih dari dua dekade, Timor Timur hidup sebagai bagian sah Indonesia. Namun ketika gejolak politik 1999 mengubah arah, keputusan untuk melepasnya terasa begitu tergesa. Padahal, ratusa ribu warga Timor Timur memilih tetap setia pada Indonesia. Mereka rela meninggalkan rumah, tanah, dan masa depan mereka di Timor, demi mempertahankan ikatan merah-putih. Hingga kini, mereka tersebar di kamp-kamp pengungsian, desa-desa di NTT, dan kota-kota kecil. Mereka masih menyanyikan Indonesia Raya dengan dada tegak—meskipun gema suara mereka nyaris tak terdengar.
Sayangnya, yang kini lebih sering diajarkan adalah narasi sepihak. Bahwa integrasi Timor Timur adalah bentuk penjajahan, bahwa TNI adalah simbol represi, bahwa Timor Timur tidak pernah memilih Indonesia. Sejarah menjadi semacam teater politik—yang disutradarai oleh kekuatan internasional, digerakkan oleh kepentingan, dan diperankan oleh pihak-pihak yang pernah menodai tanah itu dengan kekerasan atas nama pembebasan.
Inilah paradoks sejarah kita: kebenaran dikaburkan oleh narasi dominan, dan pengorbanan dibungkam oleh propaganda.
Namun problem sesungguhnya bukan hanya tentang bagaimana kita memahami masa lalu. Yang lebih mendesak adalah bagaimana kita menyikapi kondisi kebangsaan hari ini. Kita sedang menghadapi ancaman yang lebih halus tapi lebih dalam: krisis nasionalisme. Generasi muda mulai kehilangan kedekatan emosional dengan bangsa ini. Menjadi Indonesia tak lagi membangkitkan rasa bangga, hanya beban administratif dalam paspor dan kewarganegaraan. Nilai-nilai kebangsaan memudar, digantikan oleh identitas global, fanatisme lokal, atau sikap apatis.
Namun di tengah tantangan zaman, perhatian negara cenderung terserap pada agenda-agenda besar seperti stabilitas ekonomi, investasi asing, dan transformasi digital—yang semuanya memang penting dan tak bisa diabaikan. Hanya saja, di balik geliat kemajuan tersebut, ada satu fondasi yang tak boleh luput dari perhatian: kesadaran kolektif sebagai satu bangsa. Kemajuan materi tanpa penguatan jati diri kebangsaan ibarat membangun rumah megah di atas tanah yang rapuh—indah di permukaan, namun rentan terguncang ketika krisis identitas melanda. Akibatnya, wacana pemisahan diri, tuntutan otonomi luas, dan gerakan identitas eksklusif kembali menguat—meski tampil dengan wajah yang lebih sopan dan modern.
Dan di tengah semua ini, sejarah seperti 17 Juli 1976 justru dilupakan. Padahal, sejarah itu menyimpan energi moral yang luar biasa—sebuah momen ketika rakyat yang bahkan tak pernah ikut Proklamasi 1945 justru memilih Indonesia dengan kesadaran penuh. Momen langka seperti ini seharusnya dijadikan pelajaran, bukan disingkirkan.
Sudah saatnya kita membalik arah narasi. Sejarah bukan hanya tentang mengingat masa lalu, tetapi tentang menemukan pijakan moral untuk masa depan. Pemerintah harus menjadikan tanggal 17 Juli sebagai bagian dari ingatan kolektif nasional: diajarkan di sekolah, ditetapkan sebagai hari kenegaraan, dan dihidupkan kembali dalam semangat kebangsaan.
Ini bukan sekadar nostalgia. Ini adalah kebutuhan bangsa. Karena bangsa yang melupakan sejarahnya akan tersesat di masa depan. Dan bangsa yang tidak tahu siapa yang memilihnya, tidak akan tahu siapa yang akan meninggalkannya.
Hari ini, kita menyaksikan gejala masyarakat yang lelah menjadi Indonesia: ketidakpuasan terhadap pusat, hilangnya rasa memiliki terhadap negara, dan munculnya kembali gerakan separatisme dalam rupa baru. Jika semua ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan mengulang luka yang lebih besar dari 1999.
Maka kita harus kembali ke jiwa 17 Juli 1976. Jiwa dari sebuah keputusan kolektif, sebuah keberanian untuk memilih Indonesia, bahkan tanpa iming-iming kekuasaan atau kemudahan. Jiwa yang harus terus dihidupkan—bukan hanya untuk mengenang, tetapi untuk menyelamatkan masa depan.
Karena bangsa yang tidak menghargai pengorbanan para pendukungnya, akan ditinggalkan oleh mereka yang masih setia.
Pertanyaannya kini: masihkah kita peduli?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama