HARGA DIRI YANG HILANG: KETIKA TIMOR LESTE MENJADI LABORATORIUM SOSIAL DUNIA

Ada satu hal yang tidak bisa dibohongi oleh propaganda: kenyataan di depan mata. Dan kenyataan itu sederhana namun menyakitkan—Timor Leste, yang dahulu digembar-gemborkan sebagai simbol kemerdekaan, hari ini terpuruk, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara moral dan sosial. Mereka yang pernah hidup di masa integrasi bersama Indonesia tahu pasti: yang hilang bukan sekadar wilayah. Yang hilang adalah nilai.
Ketika Timor Masih Bernama Timor Timur
Selama masa integrasi dengan Indonesia, masyarakat Timor Timur hidup dalam tatanan sosial yang kuat. Anak-anak diajarkan menghormati orang tua. Kata-kata kasar di ruang publik dianggap aib. Guru dan pemuka adat dihormati. Perempuan tahu menjaga harga diri, dan laki-laki tahu menempatkan batas. Gereja dan sekolah menjadi benteng nilai moral. Hukum berjalan seiring dengan budaya dan iman. Ini adalah masa ketika nilai-nilai tidak sekadar diajarkan, tapi dijaga.
Namun semua itu perlahan memudar pasca jajak pendapat tahun 1999.
Setelah Lepas, Kebebasan Tanpa Arah
Ketika Timor Timur resmi menjadi Timor Leste, masuklah berbagai pengaruh luar, termasuk nilai-nilai yang asing bagi budaya lokal. Ruang publik yang dulunya dijaga sopan santunnya, kini dipenuhi kata makian—atas nama kebebasan berekspresi.
Pergaulan tak terkontrol. Alkohol menjadi bagian dari keseharian. Fenomena LGBT yang tak dikenal dalam tradisi lokal justru dilegalkan dan difasilitasi. Hukum adat yang dulu menjadi acuan disingkirkan oleh konsep hukum internasional yang tidak berpijak pada konteks budaya rakyatnya sendiri.
Apa yang disebut sebagai “kemajuan” justru dirasakan sebagai pembusukan nilai. Apa yang diklaim sebagai “kebebasan” berubah menjadi kehilangan arah dan jati diri.
Ketika Hak Asasi Menjadi Alat Penjajahan Baru
Tidak ada yang menolak HAM. Tapi jika HAM dijadikan alat untuk memaksakan sistem dan nilai asing kepada masyarakat kecil yang tidak pernah diberi pilihan, maka yang terjadi adalah penjajahan dalam bentuk baru.
Timor Leste hari ini adalah contoh bagaimana sebuah "negara" kecil bisa dijadikan eksperimen ideologi global. Rakyatnya dijadikan objek uji coba atas nama “demokrasi dan hak asasi.”
Pelajaran dari Para Penjaga Nilai
Mereka (Integrasionis) yang dulu menolak hasil jajak pendapat 1999 sudah memprediksi ini. Mereka adalah saksi dan penjaga kebenaran sejarah. Mereka tahu bahwa Timor Leste tidak dibebaskan, tapi dipisahkan—lewat tekanan dan konspirasi politik global yang melibatkan Portugal, PBB, dan kekuatan besar lainnya.
Kini, mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa nilai-nilai yang pernah dijaga dengan darah dan pengorbanan dihancurkan satu per satu. Dan yang tersisa hanyalah kebebasan tanpa tanggung jawab.
Masih Adakah Harapan?
Harapan tentu masih ada. Tapi harapan itu tak datang dari luar. Bukan dari PBB. Bukan dari Uni Eropa. Bukan dari Australia.
Harapan hanya bisa datang jika rakyat Timor sendiri berani membuka mata, menolak nilai-nilai impor yang merusak, dan kembali ke akar: adat, budaya, dan iman.
Sudah saatnya harga diri itu direbut kembali.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama