MENELANJANGI AROGANSI UNAMET

 


Oleh : Basmeri Integrasionis

Dalam pertandingan Final Piala Dunia 2022 di Qatar antara Argentina melawan Prancis, seluruh dunia menyaksikan sebuah duel yang luar biasa menegangkan. Pertandingan ini dipimpin oleh wasit asal Polandia, Szymon Marciniak, dan akhirnya dimenangkan oleh Argentina lewat drama adu penalti yang emosional.
Sepulang dari Qatar, tim nasional Argentina disambut dengan gegap gempita oleh rakyatnya. Kota Buenos Aires berubah menjadi lautan manusia. Pawai kemenangan digelar, arak-arakan meriah memenuhi jalanan, dan selebrasi penuh kebanggaan atas gelar juara dunia menjadi pesta rakyat yang tak terlupakan.
Para pemain berdiri di atas bus terbuka, melambai ke arah para pendukung yang bersorak histeris. Media dari seluruh dunia menyiarkan momen ini secara langsung, memperlihatkan betapa besar cinta Argentina terhadap tim nasionalnya.
Namun ada satu pemandangan yang mengundang tanya sekaligus keheranan dari publik dunia: di tengah euforia massa, tampak sosok Szymon Marciniak—wasit yang memimpin laga final—ikut berdiri di atas bus pawai. Ia melambaikan tangan, tersenyum lebar, bahkan turut mengangkat trofi Piala Dunia tinggi-tinggi ke udara, diiringi tawa dan senyum dari para pemain.
Sebuah momen yang ganjil, namun membekas. Antara merayakan kemenangan dan melintasi batas netralitas. Itu adalah sebuah tindakan yang sangat tidak pantas dan mencederai prinsip netralitas wasit dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola internasional.
Tentu, publik dunia akan terkejut dan geram. Sebuah tindakan memalukan, vulgar, dan mencederai prinsip dasar fair play. Dunia akan langsung mempertanyakan:
Apakah wasit ini benar-benar netral selama pertandingan?
Apakah semua keputusan di lapangan bisa dipercaya, jika ternyata sang pengadil ikut berpesta dengan tim yang menang?
Itu bukan sekadar pelanggaran etika—itu adalah pengkhianatan terhadap netralitas.
Dan itulah analogi sempurna untuk menggambarkan apa yang baru saja terjadi di Timor Leste. Setahun yang lalu, dalam peringatan 25 tahun Konsultasi Populer 1999, Ian Martin, mantan Kepala Misi PBB (UNAMET), hadir dan ikut merayakan hasil jajak pendapat yang berujung pada lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Bersama para mantan staf UNAMET, ia menyampaikan pidato penuh kebanggaan, mengaku bahagia bisa “kembali” dan melihat “keberhasilan” yang telah mereka fasilitasi.
Ini adalah bentuk selebrasi yang sangat vulgar.
Sama seperti wasit yang berpesta bersama tim juara, tindakan Ian Martin membuka kedok keberpihakan UNAMET sejak awal. Sebuah proses yang seharusnya dijalankan netral dan adil, kini terkuak sebagai desain politik internasional yang dibungkus dalam jargon demokrasi.
UNAMET bukan rakyat Timor. Mereka bukan peserta pemilu. Mereka bukan korban kekerasan. Mereka hanyalah wasit. Dan ketika seorang wasit bersorak bersama tim pemenang, maka seluruh pertandingan kehilangan makna keadilannya.
Ini Bukan Reuni, Tapi Pengakuan Terbuka
Bagi kami, Integrasionis Timor Timur, perayaan itu bukan sekadar nostalgia, melainkan pengakuan terbuka atas ketidakadilan yang selama ini kami lawan. Yang mereka rayakan bukan keberhasilan demokrasi, melainkan keberhasilan menghapus setengah suara rakyat Timor dari proses politik yang bahkan sejak awal tidak pernah dimaksudkan sebagai penentuan nasib sendiri. Jajak pendapat 1999 bukan referendum, tapi hanya pertanyaan tunggal tentang menerima atau menolak otonomi. Namun mereka datang dengan satu agenda: melepas Timor Timur dari Indonesia. Mereka berpesta di atas luka yang mereka buat sendiri—bukan karena kami kalah, tapi karena kami disingkirkan sejak awal. Dan hari ini, mereka mempermalukan prinsip-prinsip netralitas PBB dengan terang-terangan mengakuinya tanpa rasa malu.
Dunia Harus Jujur
Jika dunia masih mengaku menjunjung tinggi keadilan, maka momen selebrasi ini harus menjadi alarm moral. Bahwa dalam sejarah “kemerdekaan” Timor Timur, ada tangan wasit yang sejak awal tidak benar-benar bersih. Dan ketika wasit ikut berpesta, maka Timor Leste pun kehilangan legitimasinya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama