Bapak Duarte Ximenes mengatakan:
“Rekonsiliasi juga artinya melupakan masa lalu… kita perlu saling memaafkan, saling mengasihi, mencari jalan untuk bergaul lebih baik, saling menghargai… seorang patriot sejati harus membela kemerdekaan negaranya, bukan menjadikannya bagian negara lain…”
Kalimat itu terdengar manis, namun mari kita bedah secara jernih.
Anda mengatakan, “kita perlu saling memaafkan.” Saya setuju. Tetapi mari kita jujur: prinsip itu pernah dijalankan dengan konsisten pada masa Integrasi. Saat itu, kubu anti-Integrasi tidak mengalami diskriminasi sistematis. Mereka tetap mendapatkan kesempatan yang sama dalam pendidikan, jabatan publik, dan bidang ekonomi. Ada yang menjadi Bupati, anggota DPR, pejabat tinggi, bahkan tokoh nasional. Di masa itu, pihak pro-Integrasi tidak memelihara dendam atau stigma terhadap mereka yang berbeda pilihan politik.
Kami tidak mencap mereka “pengkhianat.” Kami tidak menutup pintu bagi partisipasi mereka di semua lini kehidupan. Semua adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak dan martabat setara. Berbeda dengan kondisi Timor Leste pasca-2002, di mana stigma kotor terhadap kami — “traidor,” “milisi,” “otonomista,” “faan rai” — sengaja dipelihara selama lebih dari dua dekade. Kata-kata itu bukan sekadar ejekan, melainkan alat sistematis untuk mengasingkan dan menutup ruang keterlibatan setara bagi kelompok pro-Integrasi.
Jadi, jika benar Ramos Horta adalah simbol perdamaian, mengapa hingga kini luka itu dibiarkan terbuka? Mengapa mereka yang berbeda pilihan di masa lalu masih harus hidup di bawah bayang-bayang stigma? Perdamaian sejati tidak lahir dari penghargaan Nobel atau pidato manis, tetapi dari keberanian menghapus dendam, mengakui hak semua pihak, dan membangun bangsa di atas kesetaraan.
Jika ingin belajar tentang rekonsiliasi murni, lihatlah masa Integrasi. Saat itu, memaafkan bukan berarti menghapus sejarah, tetapi menolak menjadikannya alat perpecahan.
Anda juga memuji UGM. Wajar, karena mereka mungkin hanya melihat citra “terkurasi” Ramos Horta. Mereka belum tentu mengenal seluruh rekam jejaknya dalam pusaran konflik.
Yang paling menggelitik adalah klaim Anda: “Patriot sejati harus membela kemerdekaan negaranya, bukan menjadikannya bagian dari negara lain.”
Pertanyaannya: apa ukuran “patriot sejati”?
Kalau yang disebut “merdeka” justru berarti melanggengkan hegemoni Portugal — mulai dari nama resmi “Timor Leste” (Leste = bahasa Portugis), bahasa resmi, hukum, hingga simbol kolonial — apakah itu kemerdekaan sejati, atau sekadar menjadi bab tambahan dalam sejarah Portugal? Patriot sejati seharusnya membebaskan rakyatnya dari semua bentuk penjajahan, termasuk penjajahan budaya. Yang terjadi kini ibarat mengusir penjajah dari rumah, lalu mengundangnya kembali untuk menetap di ruang tamu dengan status “tamu kehormatan” yang menentukan aturan rumah.
Jadi sebelum menghakimi pilihan kami sebagai “tidak patriotik,” ingatlah: definisi patriotisme tidak tunggal. Bagi kami, membela rakyat agar tidak jatuh ke tangan kekuasaan asing — meski lewat jalur integrasi — adalah patriotisme sejati. Patriotisme yang sejati diukur dari siapa yang sungguh membebaskan rakyat dari semua bentuk penjajahan, bukan dari siapa yang pandai berteriak “merdeka” sambil menggandeng tangan bekas penjajah.
Fakta hari ini berkata lain: “berdiri sendiri” di Timor Leste justru membuka pintu bagi rekolonialisasi multinasional. Australia menguras minyak di Laut Timor. Tiongkok menguasai proyek-proyek besar sambil mengirim ribuan pekerja yang kini beranak cucu di sana. Bahkan kabar terbaru, beberapa lulusan Timor Leste dari Universitas Brawijaya di Malang ternyata keturunan pekerja Tiongkok. Apakah ini kemerdekaan murni yang dibanggakan?
Indonesia bukan “negara lain” bagi Timor Timur. Ia adalah saudara satu pulau, satu daratan, satu sejarah sebelum peta buatan kolonial memisahkan Timor Barat dan Timor Timur. Integrasi berarti kembali ke akar, ke satu kesatuan geografis dan budaya. Kami tidak berintegrasi dengan Kuba, Venezuela, atau Brasil yang jaraknya ribuan kilometer — kami memilih pulang ke rumah sendiri.
Dan di sinilah paradoks terbesar muncul: berbicara tentang “rekonsiliasi” sambil menutup mata terhadap korban-korban kekejaman 1975, sambil mempertahankan simbol-simbol warisan penjajah, adalah seperti mengajak berdamai di rumah yang masih memajang foto tiran di ruang tamunya. Dunia internasional tak perlu membaca seluruh bab sejarah untuk melihat betapa absurdnya pemandangan ini — cukup melihat siapa yang masih duduk di kursi kekuasaan, dan bendera siapa yang masih berkibar dalam bahasa penjajah.