Dua Wajah Penggembalaan: Sebuah Refleksi Mendalam tentang Kesetiaan dan Kegagalan

 


Oleh : Basmeri Integrasionis

Tanggal 4 April 2025 menjadi hari yang mengharu biru bagi Gereja Keuskupan Agung Kupang. Mgr. Petrus Turang, sang gembala yang setia hingga akhir hayatnya, telah berpulang. Kepergiannya bukan sekadar meninggalkan duka, tetapi menjadi cermin bagi kita semua untuk merenungkan hakikat sejati seorang gembala. Di tengah dunia yang kerap mengukur kesuksesan dari popularitas dan pencapaian spektakuler, Mgr. Turang justru mengajarkan bahwa inti penggembalaan terletak pada kesetiaan yang sunyi, pelayanan tanpa pamrih, dan integritas yang tak tergoyahkan bagai karang di tengah badai.

Sebagai mantan staf ahli Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), saya memiliki keistimewaan untuk mengenal Mgr. Turang tidak hanya sebagai seorang uskup, tetapi sebagai rekan kerja dan - yang lebih berharga - sebagai bapa rohani dalam arti yang sesungguhnya. Masih jelas terbayang dalam ingatan saya, setiap pagi di Denpasar - Bali ketika sopir komisi menjemput beliau untuk memimpin misa harian di Biara Susteran Denpasar, saya selalu menyempatkan diri ikut menumpang. Dalam perjalanan-perjalanan sederhana nan singkat itulah, tanpa disadari, terbangun sebuah relasi personal yang jauh melampaui hubungan formal di kantor.

Mgr. Turang di mata saya adalah sosok yang hidup dalam konsistensi sempurna antara kehidupan imamatnya dengan tindakan nyata. Dalam rapat-rapat KKP yang seringkali tegang dan sarat dengan kepentingan politik, beliau selalu menjadi suara yang menenangkan - bukan dengan retorika kosong atau jargon-jargon agung, melainkan dengan kebijaksanaan yang lahir dari doa dan keheningan. Saya masih ingat betapa beliau tidak pernah sekalipun melewatkan misa harian, bahkan di tengah kesibukan yang padat sebagai komisioner. Bagi saya pribadi, ini adalah kesaksian hidup yang nyata: seorang gembala yang tidak pernah melupakan identitas dasarnya sebagai imam, sekalipun sedang menjalankan tugas-tugas komisioner yang kompleks.

Sangat berbeda dengan pengalaman saya mengenal Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo di Timor Leste. Sebagai orang yang menghabiskan masa kecil di Licidere - tepat di sekitar kompleks Keuskupan Dili - saya menyaksikan langsung bagaimana Uskup Belo adalah sosok yang sangat dekat dengan rakyat kecil. Setiap pagi dalam perjalanan ke sekolah, saya sering melihat beliau berjalan-jalan di sekitar kediamannya dengan jubah sederhana. Suatu kali, beliau bahkan menyapa saya dengan pertanyaan sederhana: "Anak dari mana?" dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.

Di masa-masa awal itu, Uskup Belo benar-benar menjadi "suara bagi kaum tak bersuara". Beliau tidak takut membela anak-anak muda Timor yang menjadi korban kekerasan. Karisma dan keberaniannya membuat dunia memandang Timor Timur, dan pada akhirnya membawanya meraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996. Sebagai orang Timor, saya dulu memandangnya sebagai pahlawan sejati.

Namun tahun 1999 menjadi titik balik yang menyedihkan. Saat itu, sebagai "pengungsi" dari Timor Timur, saya berada di Kefa dan sempat berbincang dengan seorang pastor sederhana, Romo Bernard. Percakapan itu menggoreskan pertanyaan mendalam tentang sikap Uskup Belo selama krisis.

"Saya perhatikan," kata saya kepada Romo Bernard waktu itu, "Uskup Belo tampak sekali memilih berpihak pada kelompok anti-integrasi saat jajak pendapat 1999. Bukankah seharusnya Gereja berdiri di atas semua golongan sebagai pemersatu?"

Romo Bernard mengangguk perlahan, matanya menerawang jauh. Lalu ia mengajukan pertanyaan yang sampai hari ini masih bergema dalam ingatan saya: "Sekarang, di tengah konflik yang memilukan ini, di mana Uskup Belo berada?"

"Dia sudah terbang ke Portugal," jawab saya.

Mata Romo Bernard berbinar sedih. "Sayang sekali," gumamnya pelan. "Uskup Belo menolak hadiah dari Tuhan, dan hanya mau menerima hadiah dari manusia - Nobel Prize itu."

Saya tertegun. "Apa maksud hadiah dari Tuhan, Romo?"

"Mati sebagai martir," jawabnya dengan tegas namun penuh keprihatinan. "Seharusnya seorang uskup dalam kondisi chaos seperti ini tidak pergi meninggalkan umatnya. Ia harus tetap berada di tengah domba-domba yang ketakutan, bahkan jika itu berarti mempertaruhkan nyawanya.Seorang gembala yang lari saat konflik bagaikan prajurit yang desersi dari medan perang."

Kata-kata Romo Bernard itu seperti pisau yang menancap dalam-dalam ke hati saya. Uskup Belo, yang selama ini dielu-elukan sebagai "suara kaum tertindas", justru memilih meninggalkan umatnya ketika mereka paling membutuhkan figur pemersatu. Padahal, inilah momen ketika seorang gembala sejati seharusnya menunjukkan keberanian imannya - bukan dengan retorika politik atau pencitraan media, tetapi dengan kehadiran nyata di tengah penderitaan umatnya.

Inilah paradoks terbesar dalam kehidupan Uskup Belo:

Di satu sisi, ia adalah sosok yang berani menentang Indonesia demi membela "kemerdekaan" Timor Leste

Di sisi lain, ia justru absen ketika umatnya berdarah-darah dalam kekacauan pasca-jajak pendapat

Dan dua dekade kemudian, kita dihadapkan pada kenyataan yang lebih pahit lagi. Uskup yang dulu dengan lantang membela anak-anak korban kekerasan, ternyata sendiri menjadi predator bagi mereka yang paling lemah. Ironi yang tragis: suara yang berteriak lantang membela yang tak bersuara, justru diam seribu bahasa ketika harus mengakui kejahatannya sendiri terhadap anak-anak yang tak berdaya.

Refleksi Akhir: Tentang Warisan yang Hakiki

Mgr. Turang meninggalkan warisan yang tak terukur. Ia mungkin tak pernah meraih Nobel, tetapi ketulusannya mengubah hidup banyak orang. Sebaliknya, Uskup Belo harus menghadapi kenyataan pahit bahwa tak ada penghargaan dunia yang bisa menebus kehancuran moral.

Kisah dua uskup ini mengingatkan kita akan sabda Yohanes Pembaptis: "Ia harus makin besar, aku harus makin kecil" (Yoh 3:30). Mgr. Turang memahami ini dengan sempurna; Uskup Belo, sayangnya, terlambat menyadarinya.

Kini, ketika mengenang Mgr. Turang, kita diajak untuk meneladani kerendahan hatinya - sebuah hidup yang diabdikan bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk Kristus dan domba-domba-Nya. Kepemimpinan, pelajaran dari dua hidup ini menjadi lentera: bahwa gembala sejati tidak diukur dari ketenarannya, tetapi dari kedalaman kasihnya; bukan dari pencapaian duniawi, melainkan dari kesetiaan pada panggilan. Mgr. Turang telah menyelesaikan tugasnya dengan gemilang, dan kini ia menerima mahkota kemuliaan yang abadi (1Kor 9:25). Semoga kisah hidupnya menginspirasi kita semua untuk menghidupi panggilan masing-masing dengan kesetiaan yang sama.


Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama