Oleh : Basmeri Integrasionis
Ada luka dalam ingatan kami umat Katolik Timor Timur — luka yang bukan hanya karena perang, konflik, dan pengkhianatan, tetapi juga karena kontradiksi dalam tubuh Gereja sendiri.
Dua Dunia, Dua Wajah Gereja
Ketika kami hidup di Timor Timur, kami mengenal Gereja sebagai sesuatu yang agung, sakral, penuh kharisma — tapi juga penuh jarak. Para imam adalah "penguasa rohani", figur untouchable yang harus dihormati, dijunjung, bahkan ditakuti. Umat bukan sahabat gembala, melainkan rakyatnya.
Namun saat kami berpindah ke NTT, kami seperti ditampar oleh kenyataan yang lain: para imam berjalan kaki ke kampung-kampung, tinggal sederhana, makan bersama umat, dan tidak membanggakan jubah mereka. Mereka bukan raja, tapi abdi Kristus.
Michael Grant, wartawan dan peneliti asal Australia yang hidup di Timor Leste pasca-jajak pendapat, menyampaikan hal yang kami rasakan namun sering kami pendam:
"Misi Gereja selama 400 tahun di bawah Portugis dapat dikatakan gagal. Maka kita butuh generasi baru, yang berintegritas dan tahu jalan benar."
Kalimat ini seperti cambuk bagi yang paham arti penggembalaan sejati. Gereja yang seharusnya membentuk karakter umat, malah membentuk kasta rohani. Yang seharusnya membebaskan, malah memperpanjang ketergantungan dan ketakutan.
Dalam kunjungan Paus terakhir ke Timor Leste, seorang imam berseru dengan bangga, “Jubahku telah menyelamatkan umat!”
Tapi kami yang tahu sejarah tidak begitu saja menelan kalimat itu. Kami tahu bahwa sejak Integrasi, TNI menghormati imam dan biara. Gereja bahkan diberi tempat dalam pembangunan — bukan dibungkam. Maka ketika jubah dibanggakan seolah seperti perisai superhero, kami bertanya: Apakah ini benar kesaksian kasih, ataukah sedang menjual jasa kepada dunia?
Inilah yang membedakan antara Gembala sejati dan aktor rohani:
Gembala sejati tidak mengklaim bahwa “jubahnya menyelamatkan”. Ia tahu bahwa hanya Kristus yang menyelamatkan.
Gembala sejati tidak membanggakan pengorbanannya, karena dia tahu bahwa salib Kristus jauh lebih besar dari kisah heroik manusia.
Gembala sejati hadir di tengah umat, diam-diam menangis bersama mereka, bukan muncul saat kamera datang.
Kembali ke Injil
Yesus berkata:
“Jangan kamu disebut Rabi, karena hanya satu Gurumu dan kamu semua adalah saudara. Yang terbesar di antara kamu harus menjadi pelayanmu.” (Matius 23:8–11)
Dan Rasul Petrus menasihati para gembala:
“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu... bukan karena paksaan, bukan karena keuntungan, bukan untuk memerintah dengan keras, tapi menjadi teladan bagi kawanan itu.” (1 Petrus 5:2–3)
Gereja Timor Leste Butuh Pertobatan
Bagi kami umat Timor Timur, pengalaman melihat imam-imam NTT adalah tamparan kasih karunia. Bahwa Gereja bisa menjadi seperti Kristus: rendah hati, tidak mencuri kemuliaan-Nya, dan tidak menjual penderitaan umat sebagai modal pencitraan.
Kami tidak membenci imam-imam kami. Tapi kami rindu mereka kembali menjadi pelayan, bukan selebritas. Kami rindu gereja yang mendidik, bukan meninabobokan. Kami rindu jubah yang basah oleh air mata umat, bukan dihias dengan pujian palsu dari dunia.
Jika Gereja Timor Leste ingin bangkit dan membentuk umat yang kuat dan penuh kasih, maka tamparan dari NTT ini bukan untuk mempermalukan, tapi untuk membangunkan. Agar gembala kembali menjadi gembala, dan Gereja kembali menjadi tempat di mana Kristus dikenali dalam pelayanan yang tulus, bukan pencitraan yang mewah.