Dalam riwayat panjang pergolakan Timor Timur, banyak kisah telah dikaburkan oleh propaganda, dilupakan oleh generasi, atau sengaja dihapus demi narasi tunggal kekuasaan. Namun, suara mereka yang pernah menjadi saksi penderitaan tidak bisa terus dibungkam.
Kesaksian ini adalah suara hati dari Bapak Jose dos Santos, seorang penyintas yang menjadi tahanan politik pada masa kekacauan pasca-Proklamasi kemerdekaan sepihak oleh FRETILIN tahun 1975. Dalam kesaksian ini, ia membuka lembaran kelam yang selama puluhan tahun nyaris tak tersentuh: pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan Apodeti oleh milisi dan pemimpin Fretilin, yang terjadi di Hat-Nipa, Same.
Dengan menyebutkan nama-nama algojo maupun para korban, Jose dos Santos menolak untuk membiarkan sejarah dikaburkan oleh romantisme politik atau lupa kolektif. Ia berbicara bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk menyelamatkan kebenaran. Ini adalah bentuk penghormatan terakhir kepada mereka yang tewas tanpa pengadilan, dan kepada generasi masa depan agar tidak mengulang luka yang sama.
Melalui testimoni ini, kita diajak untuk menatap sejarah secara utuh—melampaui dikotomi baik dan jahat, nasionalis dan kolaborator—dan menyadari bahwa luka bangsa hanya bisa sembuh bila kebenaran diakui secara jujur.
Sekitar pukul 3 pagi hari, suatu kelompok lain muncul dan kemudian kami mendengar suatu suara familiar. Suara seorang teman dekat, Lino Pereira, seorang kelahiran Viqueque. Pada mulanya kami tidak bisa mendengar dengan jelas, namun ketika dia semakin mendekat kami dapat mengdengar dengan jelas apa yang dikatakannya: "Saya akan segera menemui ajal saya sebagaimana ayah saya. Saya akan mati dengan cara yang sama. Itu tidak masalah jika kami adalah para pencuri. Saya tidak melupakan bantuan masyarakat Same. Anda Menteri-menteri Fretilin, teruslah berjuang. Anda akan mati. Bila anda mati, anda akan jumpai dimana kami semua akan mengadakan pengadilan dengan kehadiran Tuhan".
Akhir-akhir ini, pembunuhnya yang bernama Cornelio, mencari saya untuk mengatakan kepada saya bahwa sebelum Lino mati, dia berjanji kepadanya untuk mengatakan kepada Benyamin Oliveira pesan terakhirnya. Benyamin mendekat. Kami gemetar ketakutan, kemudian Cornelio mengatakan kepada Benyamin berikut ini: "Hey boy, temanmu Lino meminta saya untuk menceritakan padamu pesannya": "Sekarang ini ucapan selamat tinggal saya yang terakhir kepada teman saya Benyamin De Oliveira dan dengan sepenuh hati saya menginginkan bahwa dia akan panjang umur". Apa yang menjdi rahasia, adalah keanggotaan Apodeti saya. Dia tidak melaporkan saya. Itu merupakan bukti keteguhan dan respeknya terhadap janji yang kami buat saat kami ditawan oleh Fretilin.
Dalam malam yang mengerikan tersebut, di Hat-Nipa Fretilin telah membunuh lima puluh delapan tawanan, jumlah tersebut dihitung oleh seorang U.D.T., yang namanya Paulo, kelahiran Maubara. Dia dibebaskan pada hari itu namun dia tetap masih berada dekat sehingga dia dapat melihat Fretilin membelengggu para tawanan, dan membawa mereka ke Hat-Nipa, dimana Fretilin menghabisi mereka dengan cara sangat kejam.
Diantara orang-orang yang dihabisi, dapat kami sebutkan namanya berikut ini: Daniel De Carvalho (Perwakilan Apodeti di Raicaco), Lino Pereira, Joao Damas (Sub-Perwakilan di Bemori-Dili) dan anggota pendiri partai yang sama Miguel (Suai), Lorenso (Perwakilan di Zumalai) Gilberto (Vinicale), Gabriel (Ossu), Antonio De Sousa dan Mau-China dari Baucau, Joaquim dan Mestizo Guerra.
Semua korban dieksekusi Fretilin dengan menggunakan pisau, pedang dan panah. Hanya empat orang ditembak, dengan Mauser.
Para tokoh Fretilin yang memutuskan eksekusi terhadap teman-teman kami adalah berikut ini: Nicolau Lobato (Wakil-Presiden), Carlos Cesar Mau-Laka (anggota FCC), Antonio Sepeda (Sekretaris Daerah untuk Same), Oscar Leopoldino Araujo (anggota FCC), Hamis Bassarewan (anggota FCC), Joaquim Nascimento (mantan-sersan), Andriano Corte-Real dan pamannya Pedro Corte-Real (Perwakilan di Same), Juvenal Inacio (anggota FCC), Januario Lobato (saudara Nicolau Lobato), Cornelio De Silva dan Francisco Alves keduanya pimpinan tradisional di Fatu Builino. FCC = Fretilin Central Committee.
Sekitar 5 jam, kami seua, sekitar 75 orang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat tujuan kami dan bersama-sama ke daerah Lecu-Hati. Dalam perjalanan kami melewati tempat dimana sepanjang malam hingga fajar tanggal 31 Januari sampai 1 Februari 1976, orang-orang Fretilin membantai secara kejam lima puluh delapan anggota dan simpatisan Apodeti. Kami bisa melihat mayat-mayat di dasar jurang, namun kami tidak bisa menangis seperti halnya jeritan perasaan kami....
Ini membuat kami berjalan lebih cepat, menyingkir untuk menjauhi tempat berdarah Hat-Nipa, suatu tempat sadis dimana kematian sedang melayang-layang di udara.
Di Lecu-Hati kami berpencar. Tinggal kami berdua, karena kami memiliki tempat tujuan yang sama yaitu ke Ainaro. Kami tiba di kota Ainaro pada hari yang sama, tanggal 1 Februari 1976 malam hari.
Kami berdua menghabiskan malam di rumah teman kami Pedro Ramalho di Manu-Tali, dan hari berikutnya kami melapor ke Komandan Fretilin Manuel Pereira, yang memberi kami surat kelakuan-baik , karena kami mengatakan kepadanya bahwa kami bermaksud melanjutkan perjalanan ke Suai. Kami bertolak dari Ainaro lepas siang hari, menurunilintasan-lintasan pegunungan menuju Zumalai dimana kami menghabiskan malam di Hendan, di rumah seorang Fretilin berpikiran moderat.
Pada tanggal 3 Februari kami melanjutkan perjalanan ke Suai, namun hari itu beberapa orang Fretilin mengawal kami ke desa Uka, dimana kami beristirahat siang dan sepanjang malam, di rumah Benyamin Magno yang juga seorang Fretilin.
Hari berikutnya, masih diiringi oleh para pengawal yang sama, kami memulai lagi perjalanan kami. Di Hae-Mano, suatu daerah antara Zumalai dan Suai pengawal tidak mengijinkan kami untuk melanjutkan perjalanan, karena beberapa elemen penduduk mengatakan kepada kami bahwa pasukan-pasukan gabungan sudah menduduki Suai. Karena alasan tersebut pengawal Fretilin menahan kami selama tiga hari di Hae-Mano. Kami lupa menyebutkannya di sini, bahwa lima tawanan lainnya dari Hola-Rua ikut sepenuhnya bersama kami. Dua kelahiran Zumalai dan mereka pulang ke rumahnya masing-masing. Tiga orang lainnya tetap bersama kami, sehingga kami berjumlah lima orang, kemudian ditahan di Hae-Mano.
Satu hari setelah kami tiba di Hae-Mano, kami menemukan bahwa pengawal Fretilin sudah memutuskan untuk membawa kami kembali ke Zumalai, sehingga kami memutuskan untuk lari. Pada malam hari kami membuat suatu rencana pelarian agar selama bila kami lari. Kemudian pengawal menjadi curiga dan memperketat penjagaan terhadap kami.
Pagi-pagi sekali, hari ketiga di Hae-Mano, saya pergi ke sumber air mancur dengan teman saya Benyamin Oliveira membawa sebuah gentong untuk mengambil air. Kami tinggal semua milik kami di tempat tidur, termasuk surat-surat dan sebuah dompet yang berisi 500.00 (bernilai sekitar $20.00) di hadapan para penjaga kami. Kami lakukan itu, untuk menghilangkan kecurigaan dari para penjaga. Benyamin mengatakan kepada teman kami menyusul kami dengan berhati-hati, menit-menit setelah kami tinggalkan. Ketika kami akan pergi, seorang penjaga Fretilin ingin ikut bersama kami, namun kami tersenyum padanya dan dia memutuskan untuk membiarkan kami pergi sendiri, dan dia bahkan memberi kami sebilah bambu agar dapat memikul air lebih banyak. Segera setelah kami tiba, Benyamin dengan menggunakan arang kayu, menulis di gentong pesan ini: "Berusahalah lari, kematian sedang mengintai kita". Dia meninggalkan gentong itu di jalan, dan kami mulai lari masuk hutan. Kemudian seorang teman kami, yang diperintahkan untuk pergi membantu kami, menemukan gentong tersebut. Langsung lari tanpa berpikir dua kali. Dia tidak merasakan kakinya menyentuh tanah. Teman kami itu adalah Fransisco Piedade, yang berkat karunia Tuhan, juga selamat. Tentang dua lainnya, selama ini tidak kami ketahui lagi segala sesuatunya tentang mereka.
Pada hari pelarian kami berjalan selama berjam-jam memasuki hutan lebat. Segera setelah kami merasa aman kami beristirahat dan kemudian kami menuju ke tepi pantai. Pada malam hari terlindung oleh ilalang yang tinggi kami tidur di tanah dengan satu mata tertutup lainnya terbuka, siap untuk lari bila ada sedikit bunyi yang mencurigakan.
Pada tanggal 8 Februari kami akhirnya sampai di kota Suai tanpa suatu insiden. Kami melapor pada komandan pasukan gabungan dan setelah identifikasi kami pergi dengan tenang. Dari tanggal 9 hingga 22 Februari kami tinggal bersama Bapak Mario Belo dan Aureo, hingga kami naik ke kapal Tolando yang membawa kami ke Dili, yang sampai di sana pada tanggal 25. Hari ini, tanggal 26 Februari 1976 kami adalah untuk memberikan kesaksian kami yang kami harapkan tepat sepenuhnya dalam rincian-rincian dan kesaksian.
TTD