Mengapa APODETI Tidak Sekadar Bicara Merdeka
Selama ini persoalan Timor Timur sering dipersempit hanya menjadi soal negara dan kemerdekaan. Seolah-olah masalahnya selesai ketika sebuah bendera dikibarkan dan sebuah negara baru diakui dunia. Padahal, bagi banyak orang Timor—terutama para integrasionis—persoalan yang paling mendasar bukanlah soal negara, melainkan soal manusia Timor itu sendiri.
APODETI sejak awal memahami bahwa penjajahan Portugis tidak hanya mengambil tanah, tetapi merusak jati diri manusia Timor. Karena itu, perjuangan APODETI tidak berhenti pada slogan “merdeka”, tetapi melangkah lebih jauh: mengembalikan manusia Timor pada akar budaya, adat, dan identitasnya yang asli.
Kolonialisme Portugis dan Hilangnya Jati Diri
Portugis menjajah Timor bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan cara yang lebih halus dan lebih berbahaya: menguasai cara berpikir manusia Timor. Melalui sistem kolonialnya, Portugis menciptakan lapisan-lapisan sosial buatan. Ada elit kolonial, ada kaum asimilasi, dan ada rakyat adat di lapisan paling bawah.
Manusia Timor perlahan diajari untuk merasa bangga jika menjadi “orang Portugis”, dan merasa rendah jika tetap menjadi “orang Timor”. Adat tidak dihapus, tetapi dibiarkan hidup dengan syarat tunduk pada kekuasaan kolonial. Bahkan pemimpin adat pun harus mendapat restu penjajah agar diakui.
Akibatnya, banyak orang Timor yang memakai adat, tetapi adat itu sudah tidak lagi murni. Yang tersisa hanyalah simbol, sementara ruh dan maknanya telah dikendalikan oleh kekuasaan kolonial. Inilah yang membuat manusia Timor menjadi asing di tanahnya sendiri.
APODETI dan Makna Integrasi
Di tengah situasi itulah APODETI lahir. Berbeda dengan kelompok lain, APODETI tidak melihat kemerdekaan sebagai tujuan akhir. Bagi APODETI, kemerdekaan tanpa jati diri hanyalah penjajahan bentuk baru.
Integrasi dengan Indonesia dipandang sebagai jalan keluar dari sistem kolonial Portugis. Indonesia bukan negara sempurna, tetapi Indonesia lahir dari perjuangan melawan kolonialisme, bukan dari proyek kolonial yang diganti benderanya. Dalam Indonesia, adat, suku, dan budaya lokal diakui sebagai bagian dari kebangsaan, bukan sebagai penghalang.
APODETI percaya bahwa integrasi memberi ruang bagi manusia Timor untuk kembali berdiri sebagai dirinya sendiri—bukan sebagai “orang Portugis kelas dua”, bukan sebagai elit kolonial, tetapi sebagai bagian utuh dari bangsa yang merdeka dari penjajahan.
Kemerdekaan yang Dipertanyakan
Apa yang kemudian disebut sebagai “kemerdekaan Timor Leste” justru dipandang oleh banyak integrasionis sebagai kelanjutan dari struktur kolonial lama. Elit yang berkuasa adalah mereka yang dibentuk oleh sistem kolonial. Ketergantungan pada bantuan asing tetap kuat. Dan yang paling menyakitkan, suara integrasionis disingkirkan dari sejarah resmi.
PBB dan Barat berbicara tentang hak menentukan nasib sendiri, tetapi menutup mata terhadap fakta bahwa jati diri manusia Timor telah lama dirusak oleh kolonialisme. Mereka mengakui negara, tetapi mengabaikan manusia.
Integrasi sebagai Perjuangan yang Belum Selesai
Bagi integrasionis, integrasi bukan cerita masa lalu. Ia adalah perjuangan moral yang belum selesai. Perjuangan untuk mengembalikan manusia Timor pada adatnya yang sejati, pada identitasnya yang berakar, dan pada martabatnya sebagai manusia yang tidak bergantung pada pengakuan kekuatan asing.
APODETI tidak pernah hanya memperjuangkan bergabung dengan Indonesia. Yang diperjuangkan adalah pemulihan manusia Timor—agar tidak lagi terasing dari dirinya sendiri.
Integrasi, dalam pandangan APODETI, bukan soal kalah atau menang dalam politik internasional. Integrasi adalah pilihan untuk keluar dari kolonialisme jiwa, pilihan untuk kembali pada akar, dan pilihan untuk menjadi manusia Timor yang utuh.
Selama jati diri manusia Timor masih dipertanyakan, selama adat masih diperalat, dan selama sejarah masih ditulis dengan standar ganda, maka suara integrasionis akan tetap hidup.
Karena bagi APODETI, kemerdekaan sejati bukan sekadar berdirinya sebuah negara, tetapi kembalinya manusia Timor kepada dirinya sendiri.
