oleh: Basmeri
Saya lahir dari perpaduan tiga tanah yang sarat sejarah: Ainaro, Ambeno, dan Ermera. Ayah saya adalah anak dari pasangan Ainaro dan Ambeno, sementara ibu saya berasal dari Ermera. Tidak ada satu cc pun darah Portugis atau kolonialis yang mengalir dalam tubuh saya—dan saya bangga akan hal itu. Kami bukan keturunan bangsawan, bukan pula kaum assimilados yang hidup nyaman di bawah kuasa kolonial Portugis. Tapi kami punya warisan yang jauh lebih penting: kehormatan, keteguhan, dan harga diri.
Kakek saya adalah seorang katekis dan juga seorang pejuang. Ketika Portugis kembali ke Timor pasca Perang Dunia II, ia menjadi tahanan politik. Bahkan lebih jauh ke atas, buyut saya—Mautero—juga menjadi tahanan Portugis, dipaksa bekerja membangun jembatan Ainaro di bawah pengawasan brutal sistem kolonial.
Meskipun kakek saya kemudian menjadi seorang guru, ia bukan penjilat kolonialis. Ia tidak pernah menjual prinsipnya demi status. Ia memperkaya pengetahuan lewat buku-buku di perpustakaan paroki, bukan dari belas kasih penguasa. Sepanjang hidupnya, ia selalu diawasi oleh badan intelijen rahasia kolonial, PIDE—yang ironisnya, beberapa anggotanya kemudian menjadi arsitek pendirian FRETILIN.
Tante saya Madalena Araújo adalah bukti lain dari keteguhan keluarga kami. Ia adalah perempuan pribumi pertama yang memperoleh beasiswa dari pemerintah Portugis tahun 1971 untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke Portugal, dan berasal dari kloter pertama penerima beasiswa bersama Abílio Araújo (mantan Presiden Fretilin yang saat ini masih hidup dan dapat dikonfirmasi langsung). Saat itu, pemerintah kolonial memilih putra-putri terbaik Timor Portugis untuk dikirim ke Portugal sebagai simbol keberhasilan sistem kolonial—sekaligus strategi untuk mempertahankan kontrol atas kaum terdidik.
Prestasinya sebagai murid terbaik se-Timor Portugis membuat pemerintah tidak bisa mengabaikannya. Tapi sebagaimana watak kolonial yang licik, mereka hendak mengingkari janji. Mereka hanya bersedia membayar ongkos pesawat ke Portugal, tapi menolak menanggung biaya kuliah dan hidup. Kakek saya, dengan tegas menjawab:
“Kalau begitu, saya bisa sekolahkan anak saya ke Jakarta.”
Pernyataan itu adalah ancaman diam-diam namun tajam. Pada masa itu, pemerintah kolonial sangat menutup akses rakyat Timor terhadap informasi tentang Indonesia. Yang mereka tahu tentang Indonesia hanya terbatas pada Timor bagian barat (yang disebut 'Timor Holanda'), sedangkan Jakarta dan Jawa dianggap wilayah asing yang tidak dikenal. Ancaman kakek saya dianggap serius, karena menunjukkan bahwa ia tahu lebih banyak dari yang diperbolehkan. Karena itulah, akhirnya pemerintah Portugis mengalah dan memberikan beasiswa penuh, sesuai janji semula.
Dua tahun kemudian, adik dari tante saya, yaitu Maria Aurelia, menjadi bagian dari kloter kedua penerima beasiswa ke Portugal, meneruskan jejak intelektual dan integritas keluarga.
Keluarga kami bukan keluarga penjilat kolonialis. Kami bukan bagian dari sistem asimilasi. Kami adalah keluarga rakyat biasa yang menggunakan ilmu, iman, dan keteguhan prinsip untuk melawan kebodohan dan penindasan, baik dari kekuasaan kolonial maupun dari mereka yang kemudian mencatut nama rakyat namun berakar pada struktur lama penindas itu sendiri.
Kini, saya sendiri telah memilih untuk menggunakan nama Basmeri—nama leluhur kami —dan meninggalkan nama Portugis yang dulu melekat pada identitas saya. Ini bukan sekadar pergantian nama, melainkan sebuah sikap. Sebuah perlawanan batin terhadap sisa-sisa hegemoni penjajah yang masih berusaha hidup dalam bahasa, simbol, dan cara berpikir kita. Dengan nama ini, saya menghormati jejak perjuangan keluarga saya. Dan lewat nama ini pula, saya menegaskan: kami bukan produk warisan kolonial, kami adalah pemilik sah sejarah kami sendiri.