Oleh. Paul
Di tengah teriknya matahari Pulau Timor, di antara deru ombak selatan dan bisik angin pegunungan, ada sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat kita berhenti sejenak: Mengapa orang Timor di tanah Timor disebut “eks Timor Timur”?
Istilah ini terdengar sepele bagi sebagian orang, tetapi bagi mereka yang menghayati sejarah dan darah leluhur, kata “eks” terasa seperti belati yang perlahan memisahkan satu tubuh menjadi dua.
Jejak Sejarah Sebelum Garis di Peta
Sebelum penjajah menggambar batas-batas administratif di atas kertas, Pulau Timor adalah satu kesatuan. Orang Timor hidup dengan bahasa, adat, dan tradisi yang saling bertaut—dari ujung barat hingga ujung timur. Perbedaan dialek atau pakaian tidak menghapus rasa satu darah. Mereka menikah lintas wilayah, berdagang lintas kampung, dan merayakan pesta adat bersama.
Penjajah datang, membawa garis-garis di peta. Garis yang dingin, kaku, dan tak punya rasa. Dari sinilah sebuah kesatuan dipaksa menjadi dua wilayah berbeda: Timor Barat dan Timor Timur. Namun, bahkan garis itu tidak mampu menghapus ikatan batin yang telah tertanam selama berabad-abad.
Anomali Sebuah Istilah
Kini, di tanah yang sama, sebagian orang Timor justru diberi label “eks Timor Timur.” Eks dari apa? Eks karena berpindah administrasi? Eks karena sebuah keputusan politik? Jika begitu, mengapa tidak ada yang menyebut “eks Timor Barat,” “eks Timor Utara,” atau “eks Timor Selatan”?
Kenyataannya, istilah ini tidak lahir dari budaya Timor, melainkan dari narasi politik yang membungkus sejarah dengan cara yang mengaburkan persatuan. Kata “eks” bukan hanya label; ia adalah sekat psikologis yang mengikis rasa satu pulau, satu saudara.
Pelajaran dari Jalan Timor Raya
Lihatlah Jalan Timor Raya. Jalan panjang ini membentang dari Tablolon di ujung barat hingga Lospalos di ujung timur. Ia menghubungkan pasar, desa, dan kota. Ia menyatukan kehidupan dari dua sisi pulau. Jalan ini adalah simbol nyata bahwa Pulau Timor adalah satu, tak peduli batas administratif apa pun.
Jika jalan bisa menyatukan, mengapa narasi kita justru memisahkan?
Menghapus “Eks”, Mengembalikan Persaudaraan
Menyebut sesama orang Timor dengan embel-embel “eks” adalah melupakan bahwa kita berasal dari akar yang sama. Pulau ini tidak pernah terbelah di hati leluhur kita—maka seharusnya juga tidak terbelah di hati kita hari ini.
Kita butuh keberanian untuk menghapus istilah “eks” dari percakapan, dokumen, dan ingatan kita. Sebab, persatuan bukan hanya soal berdampingan, tetapi juga soal mengakui bahwa kita memang satu sejak awal.
Pulau Timor bukan sekadar wilayah di peta. Ia adalah rumah bagi kita semua. Dari barat hingga timur, dari pantai hingga pegunungan, dari generasi ke generasi—Timor adalah kita, dan kita adalah Timor.
Tags:
Timor Leste