Oleh : Basmeri Integrasionis
Dalam tayangan YouTube berjudul “What Israel and Palestine Can Learn From Timor-Leste”, José Ramos-Horta kembali tampil sebagai "rasul perdamaian". Dengan gaya bicara lembut dan penuh retorika, ia menyampaikan pesan rekonsiliasi, pengampunan, dan anti-balas dendam, seolah-olah Timor Leste adalah teladan moral dunia. Tapi di balik narasi manis dan citra mulus itu, ada kisah yang tak pernah disentuh kamera dan luput dari sorotan media global.
Horta : Sang Propagandis
José Ramos-Horta seorang propagandis licik yang memainkan peran sebagai juru bicara Fretilin di panggung dunia. Pada masa konflik Timor Timur, kerap menyebarkan narasi sepihak dan manipulatif ke dunia internasional, dengan menggambarkan Indonesia sebagai “penjajah brutal” dan dirinya sebagai suara tunggal rakyat Timor Timur. Ia tidak berada di garis depan pertempuran, tetapi berada di panggung diplomatik, membentuk opini dunia berdasarkan kebohongan dan pembelokan fakta.
Horta adalah aktor watak yang lihai. Ia mampu memainkan peran apapun untuk membangun simpati dan kekuatan personal. Di forum internasional, ia bersolek sebagai negarawan penuh welas asih. Namun bagi banyak orang yang menyaksikan kiprahnya sejak awal, ia adalah manipulator politik yang oportunis.
Kesaksian Rosihan Anwar: Wajah Asli Horta di Jakarta dan Bandung
Salah satu catatan penting yang membongkar tabiat asli Horta datang dari wartawan senior Indonesia, Rosihan Anwar, dalam bukunya Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia. Dalam buku itu, Rosihan mengulas secara detail bagaimana perilaku Horta saat berkunjung ke Indonesia pada tahun 1975.
Pada kunjungannya ke Jakarta dan Bandung, Horta menginap di Hotel Trans Aera, di depan Stasiun Gambir. Menurut salah satu wartawan Indonesia yang kala itu ikut meliput, Horta sempat berkata, “Supaya saya diberi uang sebanyak 10.000 US dollar dan soalnya selesai.” Wartawan tersebut menjawab sinis, karena mana mungkin Adam Malik—wakil presiden kala itu—bisa dengan mudah menggelontorkan uang sebesar itu.
Lebih dari itu, Jussac M.R. Wirosoebroto, Pemimpin Redaksi Mingguan Pelopor, menyebut bahwa Horta selama di Bandung memamerkan gaya hidup hedonis. Ia kerap mengunjungi night club dan steambath, melepas hawa nafsunya tanpa kendali. Pernah suatu ketika, Horta berdiri di depan sebuah toko di Bandung dan melihat seorang wanita Indonesia berpakaian kebaya. Dengan santai dan senyum genit, ia berkata, “Kalau saya bisa dapat istri seperti itu, wah, saya akan bergabung dengan Apodeti (partai pro-integrasi).”
Wartawan asing Jill Jollife bahkan menggambarkan Ramos Horta sebagai pria muda berdarah campuran Portugis-Timor, namun gila perempuan, alkohol, dan uang. Semua ini menunjukkan bahwa sejak awal, karakter asli Horta bukanlah seorang pejuang idealis yang bersih, melainkan figur oportunis yang memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi.
Horta dan Politik Panggung Global
Setelah berhasil mendapatkan simpati internasional dan memenangkan Nobel Perdamaian tahun 1996, Horta makin giat memperkuat citranya di panggung dunia. Namun bocoran diplomatik AS melalui WikiLeaks pada 2011 menunjukkan sisi lain Horta: seorang ambisius yang ingin merebut posisi Sekretaris Jenderal PBB, yang tak segan menyudutkan rekan satu perjuangannya, Xanana Gusmao, hanya karena gaya hidup berbeda.
Dalam bocoran itu, diplomat AS menilai Horta sebagai pribadi tinggi hati, yang terobsesi ingin selalu mendapat perhatian dunia. Komentar-komentarnya seringkali keras dan tidak mewakili kepentingan rakyat Timor Leste. Bahkan, ambisi globalnya pernah menghambat upaya Timor Leste untuk bergabung dengan ASEAN karena sikap kerasnya terhadap Myanmar.
Retorika Kosong Tanpa Rekonsiliasi Nyata
Setelah lepas dari Indonesia, tidak ada rekonsiliasi besar yang dipimpin Horta di dalam negerinya. Yang ada justru konflik internal, kudeta militer, dan berbagai krisis politik yang menunjukkan kegagalannya sebagai pemimpin nasional. Ia bicara soal perdamaian di forum dunia, tapi gagal menciptakan kedamaian sosial dan ekonomi bagi rakyatnya sendiri.
Lebih ironis lagi, Horta pernah memfitnah tokoh Apodeti, Arnaldo dos Reis Araújo, demi membunuh karakter lawan politiknya. Tindakan seperti ini menunjukkan bahwa apa yang keluar dari mulut Horta tidak bisa dipercaya begitu saja. Karakter seseorang sangat memengaruhi kredibilitas narasi yang mereka bangun—dan dalam kasus Horta, rekam jejak manipulasi, fitnah, dan kepentingan pribadi seharusnya menjadi peringatan serius bagi siapa pun yang terpesona oleh citra publiknya.
Citra yang Akan Runtuh
Citra Ramos-Horta yang tampak suci di mata dunia hanyalah hasil konstruksi narasi panjang yang didukung kebutaan global terhadap fakta lapangan. Dunia mungkin belum sadar. Tapi waktu akan membuka semuanya.
Segala kepalsuan José Ramos-Horta—tentang perdamaian, tentang rekonsiliasi, tentang moralitas—cepat atau lambat akan terungkap. Dunia boleh lama tertipu, tetapi sejarah selalu menyimpan kebenarannya. Dan ketika tirai panggung ini diturunkan, rakyat yang dulu jadi korban propaganda Fretilin, mereka yang kehilangan rumah, keluarga, dan tanah karena ambisi segelintir elit, akan menjadi saksi sejati dari siapa Ramos-Horta sebenarnya.