Oleh : Basmeri Integrasionis
Beberapa waktu lalu, Presiden Timor Leste José Ramos-Horta tampil sebagai keynote speaker dalam UGM Annual Lecture. Dengan gaya khasnya yang retoris dan penuh nostalgia, ia menyampaikan pidato yang sekilas terdengar hangat dan bersahabat. Ia menyebut “menghormati Bung Karno dan semangat anti-kolonialisme Indonesia,” dan menggambarkan Timor Leste sebagai negara yang “unggul dalam rekonsiliasi komunitas.” Namun, di balik pidato manis itu tersimpan kepalsuan dan ironi yang terlalu mencolok untuk diabaikan.
Pertama,Ia tidak menyebut sama sekali soal konflik bersenjata dan kekerasan yang mewarnai masa lalu—konflik yang justru ia eksploitasi di forum-forum internasional selama puluhan tahun untuk mendiskreditkan Indonesia. Kini, setelah duduk di kursi kekuasaan dan menjalin kerja sama dengan negara tetangga yang dulu ia tuduh, Horta tampak ingin menghapus sejarah kelam yang turut ia mainkan peran sentral di dalamnya. Tidak ada pengakuan atas propaganda yang pernah ia bangun, tidak ada koreksi atas fitnah sistematis terhadap tentara Indonesia, bahkan tidak ada sepatah kata maaf.
Yang paling menggelikan adalah ketika Horta mengklaim bahwa Timor Leste menjadi “model rekonsiliasi.” Klaim itu tak lebih dari upaya pemutihan sejarah yang penuh luka dan pengkhianatan. Bagaimana bisa sebuah negara yang masih menstigma saudara-saudaranya sendiri sebagai Traidor (pengkhianat), Faan Rai (penjual tanah), Milisi, dan Otonomista, disebut sebagai teladan rekonsiliasi? Di balik senyumnya yang lembut dan pidato-pidato berbalut moralitas global, Horta terus menutup mata terhadap fakta bahwa mereka yang memilih tetap bersama Indonesia justru tidak pernah dilibatkan sejak awal dalam proses rekonsiliasi pasca-1999.
Alih-alih membuka ruang dialog dengan kelompok Integrasionis yang memilih keluar dari Timor Leste, “negara” itu justru memelihara narasi dendam dan penghinaan. Yang lebih ironis, tokoh-tokoh yang dulu dielu-elukan dunia sebagai simbol perdamaian seperti Horta dan Uskup Belo, justru gagal memberi teladan dalam menjembatani luka sejarah yang lebih tua—terutama kejahatan perang yang dilakukan Fretilin terhadap sesama rakyat Timor Timur, termasuk pembantaian terhadap pemimpin Apodeti dan UDT dalam perang saudara 1975–1978.
Rekonsiliasi sejati tidak bisa tumbuh di atas fondasi penyangkalan sejarah dan penghinaan terhadap separuh bangsa sendiri. Bila Timor Leste benar ingin bicara rekonsiliasi, mulailah dengan membongkar kepalsuan narasi yang mereka pelihara selama dua dekade terakhir.
Jika rekonsiliasi memang tujuan tulus, maka sejak tahun 2000 atau setidaknya 2002, saat Ramos-Horta dan Uskup Belo menerima Nobel Perdamaian, mereka semestinya menggunakan pengaruhnya untuk merangkul saudara-saudaranya yang memilih tetap menjadi bagian dari NKRI.
Ironisnya, Ramos-Horta juga tidak menyentuh soal konflik internal yang berkecamuk pasca-Timor Leste lepas dari Indonesia—konflik yang justru menunjukkan rapuhnya fondasi rekonsiliasi yang ia banggakan. Bahkan kejahatan perang yang dilakukan Fretilin pada masa perang saudara 1975–1978, termasuk penyiksaan dan pembantaian terhadap pendukung Apodeti dan UDT, tak pernah disentuh. Para korban dari sesama orang Timor Timur itu seperti dihapus dari memori nasional.
Sementara itu, perjuangan para pro-integrasi—mempertahankan Tanah Timor dalam naungan NKRI—terus dicitrakan sebagai kejahatan, bukan pilihan politik yang sah. Istilah "kemerdekaan" digunakan untuk membenarkan pengambilalihan kekuasaan yang penuh kekerasan dan manipulasi, padahal faktanya, yang terjadi pada 1999 bukan referendum penentuan nasib sendiri, melainkan lepasnya Timor Timur dari pangkuan Indonesia akibat campur tangan asing dan kecurangan terstruktur.
Kini, setelah semua luka itu, Ramos-Horta hadir dengan wajah damai dan tutur kata manis, seolah-olah masa lalu itu hanya kilasan kenangan. Namun bagi kami yang dicaci sebagai pengkhianat hanya karena mencintai Indonesia—rekonsiliasi bukanlah soal pidato. Rekonsiliasi adalah keberanian untuk mengakui kebenaran yang menyakitkan dan merangkul mereka yang selama ini disingkirkan.
Jika Ramos-Horta memang tulus mengusung perdamaian, maka mulailah dengan berhenti menjual dongeng perdamaian sambil menyapu setengah sejarah ke kolong karpet. Karena selama yang diampuni hanya para pelaku kekerasan 1975 dan yang diminta berdiam justru mereka yang setia kepada Indonesia, maka yang disebut “rekonsiliasi” itu tak lebih dari monolog penuh kemunafikan—sebuah drama murahan demi panggung diplomatik dan tepuk tangan internasional.