Oleh : Basmeri Integrasionis
Sejarah bukan sekadar kumpulan tanggal dan tokoh. Ia adalah narasi besar yang menentukan arah ingatan kolektif suatu bangsa—dan dari narasi itulah terbentuk persepsi dunia, kebijakan politik, hingga arah solidaritas antar bangsa. Karena itu, siapa yang menguasai narasi, sesungguhnya sedang menguasai ingatan dan masa depan sejarah.
Hari ini, dalam diskusi-diskusi kecil yang berlangsung di ruang digital, muncul suara-suara dari generasi muda penerus Apodeti—suara yang selama ini tenggelam dalam arus kuat narasi FRETILIN yang mendominasi ruang sejarah Timor Timur. Suara ini bukan datang dari kehampaan. Ia lahir dari luka yang diwariskan, dari nama-nama yang dikubur tanpa nisan, dari pengorbanan para martir Integrasi yang hingga hari ini tidak mendapat tempat dalam narasi resmi sejarah dunia.
Bukan Sekadar Perlawanan Naratif, Tapi Tanggung Jawab Moral
Anak-anak dari para tokoh Apodeti yang dibunuh, disiksa, atau dipaksa "mengungsi" —seperti keluarga besar mendiang Sekjen Apodeti, José Fernando Osório Soares—tidak sedang menuntut balas. Mereka juga tidak sedang menyeret luka lama demi kepentingan pribadi. Yang mereka suarakan adalah tuntutan keadilan naratif, agar sejarah bangsa ini tidak terus dikunci dari satu sisi, agar Indonesia tidak selamanya dituduh sebagai penjajah oleh narasi yang timpang.
Ketika mereka berbicara di forum-forum terbuka, atau menanggapi tuduhan-tuduhan keji seperti "penjual tanah", "milisi", atau "pengkhianat", mereka sesungguhnya sedang membela kehormatan bangsa Indonesia. Mereka sedang memperjuangkan citra bangsa yang telah tercoreng oleh kekalahan narasi dalam pusaran geopolitik global yang sejak awal lebih condong pada kekuatan pasca-kolonialisme ala Barat.
Ada yang menyebut langkah ini sebagai tindakan radikal, barangkali belum sepenuhnya memahami dimensi emosional, spiritual, dan moral yang membentuk sikap generasi ini. Sebab bagi mereka, ini bukan sekadar menjaga nama baik Apodeti, tapi menghidupkan kembali suara-suara kebenaran yang dibungkam oleh peluru dan propaganda.
Kritik yang Perlu Disikapi dengan Kedewasaan
Beberapa pihak mungkin menganggap langkah-langkah berani generasi muda Apodeti sebagai tindakan yang "memalukan", "menghambat rekonsiliasi", atau bahkan "tidak sejalan dengan semangat Apodeti dahulu". Kritik seperti ini tentu lahir dari keprihatinan yang bisa dimaklumi, terutama dari para tokoh senior yang pernah memimpin perjuangan di masa sulit.
Namun kita juga perlu jujur pada realitas: rekonsiliasi yang sehat hanya bisa dibangun di atas kejujuran dan pengakuan akan luka. Jika narasi FRETILIN terus dipelihara sebagai satu-satunya kebenaran sejarah, maka rekonsiliasi apa yang sedang dibangun?
Kritik yang menyebut bahwa generasi Apodeti hari ini terlalu keras, terlalu terbuka, atau bahkan radikal, sebenarnya keliru menempatkan fokus. Mereka tidak sedang menghancurkan warisan Apodeti, justru mereka memperjuangkan kehormatan sejarah Apodeti yang telah lama direduksi hanya sebagai kaki tangan Indonesia. Padahal Apodeti lahir dari semangat nasionalisme, bukan kolonialisme.
Jangan Reduksi Nilai Perjuangan Menjadi Sekadar Pintu Politik
Ada kekhawatiran terselubung bahwa suara generasi muda Apodeti akan mengganggu proses "rekonsiliasi" yang sedang diupayakan Timor Leste. Namun kita juga harus bertanya secara jujur: rekonsiliasi seperti apa yang sedang dibangun? Apakah benar-benar tulus? Atau justru muncul karena generasi Apodeti hari ini mulai menunjukkan posisi tawar naratif yang mengancam klaim historis sepihak selama ini?
Jika benar rekonsiliasi sedang diupayakan, maka kehadiran suara generasi Apodeti seharusnya disambut, bukan dibungkam. Merekalah jembatan antara masa lalu dan masa depan. Mereka bukan sedang memusuhi rekonsiliasi, tapi ingin rekonsiliasi itu berdiri di atas kebenaran, bukan di atas penyesatan sejarah.
Pemulihan Citra Bangsa: Tanggung Jawab Kita Bersama
Akhirnya, kita harus melihat apa yang dilakukan oleh generasi Apodeti di forum-forum Facebook, YouTube, dan grup diskusi bukan semata-mata untuk melampiaskan luka pribadi, melainkan bagian dari upaya kolektif memulihkan nama baik bangsa Indonesia. Karena narasi yang menyebut Indonesia sebagai penjajah, dan yang menyamakan milisi Integrasi sebagai pelaku genosida, bukan hanya menyakitkan bagi para korban, tetapi melukai harga diri bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Sudah sepatutnya pemerintah Indonesia memberi ruang dan dukungan moril atas upaya pemulihan narasi ini, termasuk memberikan perhatian lebih kepada komunitas Integrasionis yang hingga hari ini masih merasa ditinggalkan sejarah.
Perjuangan Belum Selesai
Generasi Apodeti hari ini tidak sedang hidup di masa lalu. Mereka hidup di masa kini, tapi masih membawa luka yang belum diobati. Perjuangan mereka bukan dendam, tapi panggilan nurani untuk menyeimbangkan timbangan sejarah yang timpang. Jika bangsa Indonesia ingin berdiri dengan kepala tegak di hadapan dunia, maka membela kebenaran sejarah adalah jalan kehormatan yang tidak bisa diabaikan.
Perjuangan belum selesai. Dan mereka yang hari ini bersuara, bukan sedang membuat gaduh. Mereka sedang menunaikan bagian kecil dari tanggung jawab besar: menjaga martabat bangsa.