Agum Gumelar kenyang pengalaman tempur. Dari serangkaian operasi militer yang diikutinya, “Operasi Seroja” di Timor Timur (waktu itu) antara tahun 1982-1983 merupakan operasi yang paling mengesankan Agum. Saat itu ia berpangkat letnan kolonel, dan memimpin pasukan Nanggala 55, salah satu pasukan andalan Kopassus.
“Tugas pokok saya adalah mengurangi kekuatan musuh, bahkan kalau bisa menghilangkan. Untuk itu ada dua cara. Pertama, temukan mereka. Mau di gua mana, hutan mana, gunung mana, cari mereka, dan bunuh mereka. Itu namanya tempur. Cara kedua, sadarkan mereka. ajak mereka dengan kesadaran untuk sama-sama membangun Timtim. Nah, saya pilih cara kedua,” kata Agum.
Salah satu kelompok Fretilin yang menjadi target persuasi Agum adalah kelompok pimpinan Vincencio Vieras. Melalui penghubung, Agum berhasil menjalin kontak dengan pemimpin pemberontak itu dan menawarkan untuk bertemu. Vincencio menyetujui permintaan itu namun mensyaratkan agar Agum datang tanpa pasukan lengkap. Agum menyanggupi dan hanya membawa 10 anggota pasukan Baret Merah untuk menemaninya.
Selama perjalanan menuju sarang Fretilin di Gunung Kablaque itu, Agum dan anak buahnya diharuskan mengenakan penutup mata. “Saya sudah bersiap untuk kemungkinan terburuk, yaitu mati. Tapi saya bilang ke anak buah saya, kalaupun kita harus mati, sebelum itu harus lebih banyak lagi Fretilin yang mati,” cerita Agum. Namun tidak terjadi apa-apa sepanjang perjalanan sampai akhirnya Agum bertemu Vincencio.
Kepada pemimpin gerombolan pemberontak itu, Agum mengatakan: bila Fretilin mau merdeka seharusnya itu terjadi sebelum tahun 1975. “Faktor yang mendukung ada di tangan kalian: rakyat, senjata masih lengkap, dan dukungan luar negeri masih ada. Kalau sekarang (tahun 1980an itu), bagaimana mungkin? Senjata kalian karatan begini? Dan baju compang-camping. Di luar (hutan) rakyat sudah membangun dan PBB sudah tidak menjadwalkan masalah Timor Timur dalam agenda mereka,” kata Agum menirukan ucapannya kepada Vincencio.
Upaya persuasi yang dilakukan Agum cukup mengena. Banyak anggota Fretilin memutuskan untuk turun gunung dan meletakkan senjata. Kepada seluruh anggota pasukannya, ia berwanti-wanti: “Ciptakan situasi kondisi rakyat melaporkan apa saja kepada kita. Jangan ciptakan kondisi sebaliknya, rakyat malah melaporkan kegiatan kita kepada gerombolan.”
Agum tidak mengizinkan pasukan patroli membawa senjata, granat, dan amunisi yang banyak. Menurutnya, hal itu tak berguna dan malah menciptakan kesan menakutkan bagi warga desa. Begitu sensitifnya kondisi psikologis warga Timtim bagi Agum, sehingga ketika ia mendapat laporan seorang prajurit memukuli penduduk setempat, ia langsung mendatangi rumah pemuda tersebut. Agum tidak menunda-nunda dan sama sekali tidak menutup-nutupi kesalahan tersebut.
“Seluruh keluarga itu raut wajahnya tidak bersahabat. Tapi saya tetap maju, saya bilang saya hanya ingin menengok pemuda itu, dan sebagai komandan saya ingin minta maaf,” kata Agum. Hati keluarga itu pun luluh karena masa itu jarang sekali ada seorang komandan militer datang meminta maaf atas kelakuan anak buahnya.
Namun situasi kondusif di Timtim tidak bertahan lama. Perintah dari Pusat untuk menyerang habis-habisan, membuat Fretilin patah arang. Agum tidak bisa berbuat apa-apa karena ia keburu ditarik ke Jakarta. Agum hanya bisa menyaksikan Timtim terus bergejolak dari kejauhan. Kompi demi kompi pasukan TNI dikirim ke sana dalam upaya meredam pemberontakan. Namun banyak prajurit pulang hanya tinggal nama dan topi baja. Setelah pengorbanan yang begitu besar itu, Timtim meraih kemerdekaan lewat jajak pendapat di era Presiden B.J. Habibie (halaman 28-32).