TETAP TEGUH SAAT YANG LAIN MENYERAH



Dalam perjuangan, ujian paling berat bukan selalu datang dari musuh di seberang. Kadang, yang paling menyakitkan justru datang dari mereka yang pernah berdiri di barisan yang sama, menyebut diri saudara sejalan, lalu tiba-tiba menertawakan kita karena kita tidak berubah seperti mereka.

Banyak orang memulai perjuangan dengan semangat membara, membawa slogan-slogan heroik dan janji pengorbanan. Namun waktu perlahan menguji bukan dengan peluru atau luka fisik, melainkan dengan cobaan yang lebih sunyi: godaan, tekanan sosial, keinginan untuk diterima, atau sekadar lelah. Di titik itulah, satu per satu mulai berguguran — bukan karena kalah oleh lawan, tetapi karena tak kuat berdiri di hadapan nurani sendiri.
Mereka menyebut kita “ultra,” terlalu keras, tidak move on, atau hidup dalam halusinasi sejarah. Padahal yang sesungguhnya mereka tertawakan bukanlah kita—tetapi bayangan diri mereka sendiri, yang dulu juga pernah berjuang, tapi kini memilih nyaman di pelukan kompromi.
Mereka bilang ini zaman baru. Mereka bilang, “ikut arus saja.” Tapi lupa: prinsip tidak lahir dari kenyamanan, melainkan dari darah, air mata, dan pengorbanan. Dan prinsip itu, tidak untuk dinego hanya karena waktu telah berlalu atau karena pintu diplomasi kini terbuka tanpa pertanggungjawaban.
Prinsip yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, tiba-tiba terasa bisa dinego. Kebenaran yang dulu mutlak, kini disebut “relatif” demi kursi, proyek, atau tepuk tangan dari bekas musuh. Dan untuk menenangkan batin mereka yang tak lagi setia, mereka mulai mengejek mereka yang masih teguh:
"Itu hanya sikap ultra… terlalu keras… nanti juga sadar sendiri..."
Kalimat itu terdengar cerdas, tapi sejatinya lahir dari ketakutan akan bayang-bayang integritas yang pernah mereka tinggalkan.
Mereka yang tak lagi sanggup membela nilai, memilih merendahkan karakter mereka sendiri. Mereka yang tak sanggup bertahan dalam kejujuran, mulai mengalihkan perhatian dengan menyebut perjuangan orang lain sebagai ilusi. Padahal, konsistensi bukanlah halusinasi — melainkan penghormatan paling luhur terhadap darah dan pengorbanan mereka yang telah lebih dulu membayar mahal harga kebenaran.
Saya tidak terganggu sedikit pun oleh tudingan seperti itu.
Lebih baik saya dianggap terlalu keras, terlalu kaku, atau terlalu setia — daripada menjadi sosok yang lentur mengikuti angin, lalu menyebutnya sebagai kebijaksanaan. Dalam sejarah, yang dikenang bukan mereka yang lihai berkompromi, tetapi mereka yang diam-diam tetap menjaga nyala kebenaran, meski harus berjalan sendirian dalam sunyi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama