Saran untuk Integrasionis: Tidak Perlu Terlalu Gatal dalam Menanggapi Ajakan Rekonsiliasi


Oleh: Basmeri Integrasionis

Saudara-saudara sejiwa dan seperjuangan, para pendukung setia integrasi,

Dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat munculnya ajakan rekonsiliasi dari pihak Timor Leste. Sebuah langkah yang, di permukaan, tampak mulia—menyatukan kembali yang terpecah, menyembuhkan luka masa lalu. Namun, kita perlu berhati-hati dalam menanggapi ajakan ini.

Mengapa? Karena sikap masyarakat Timor Leste terhadap kita masih diwarnai oleh kebencian yang kuat. Di berbagai platform media sosial, kita terus dicaci maki dan dicap sebagai "otonomista," "milisi," dan "pengkhianat." Mereka berulang kali menyatakan bahwa mereka tidak butuh kita untuk kembali ke Timor Leste. Sikap ini tidak hanya menunjukkan penolakan, tetapi juga bahwa kebencian terhadap kita masih membara, seolah-olah rekonsiliasi yang mereka tawarkan hanyalah formalitas tanpa niat tulus.

Maka dari itu, apakah kita perlu terburu-buru merespon ajakan ini ketika mereka terus memandang kita dengan rasa benci dan ketidakpercayaan? Jawabannya adalah: tidak!

Martabat kita tetap harus dijaga. Tidak ada alasan untuk tergesa-gesa atau terpesona oleh janji rekonsiliasi yang mungkin hanya bersifat politis. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa niat baik harus disertai dengan tindakan nyata, dan hingga kini, banyak dari kita yang masih menyaksikan ketidakadilan terhadap saudara-saudara kita di Timor Leste yang dicap atau disangka sebagai pendukung integrasi.

Sesungguhnya, jika kita renungkan dengan mendalam, kita tidak memiliki kepentingan apapun terhadap ajakan rekonsiliasi yang dilontarkan oleh pihak Timor Leste. Mengapa? Karena pada dasarnya, sejak awal hingga hari ini, kita tidak pernah bersikap diskriminatif terhadap mereka yang menentang integrasi.

Selama Timor Timur menjadi bagian dari NKRI, kita selalu berusaha untuk merangkul semua pihak, bahkan mereka yang berbeda pandangan, tanpa ada perlakuan khusus atau diskriminasi. Pro-integrasi, sebagai pihak yang berkuasa saat itu, tidak pernah membedakan orang berdasarkan pandangan politiknya. Sikap kita selalu dilandasi oleh semangat persatuan, perdamaian, dan persaudaraan. Hal ini kita jaga bukan hanya sebagai retorika politik, tetapi sebagai nilai-nilai yang tertanam kuat dalam diri kita semua.

Namun, kenyataannya berbeda ketika pihak anti-integrasi menjadi penguasa di Timor Leste. Sejak mereka memegang kendali, diskriminasi, stigma, dan pengucilan terhadap kita, para pendukung integrasi, terus terjadi. Kita dicap sebagai "pengkhianat," "otonomista," dan "milisi," seolah-olah hak kita sebagai bagian dari sejarah Timor Timur dihapus begitu saja.

Ironisnya, sekarang mereka berbicara tentang rekonsiliasi, seakan-akan masalahnya ada pada kita. Padahal, sejak dulu kita tidak pernah menghalangi perdamaian. Kita selalu siap merangkul, bahkan mereka yang sebelumnya menentang integrasi. Yang bermasalah bukanlah kita, tetapi pihak anti-integrasi yang terus menanamkan rasa benci dan diskriminasi.

Jadi, untuk apa kita tergesa-gesa menanggapi ajakan ini? Sesungguhnya, pro-integrasi tidak pernah memiliki masalah dalam hal persaudaraan dan rekonsiliasi. Kita telah membuktikannya sejak masa-masa integrasi di bawah NKRI. Yang perlu diperbaiki adalah sikap dari mereka yang selama ini meminggirkan kita dan terus memperlakukan kita dengan penuh prasangka.

Rekonsiliasi adalah hal yang baik, dan kita akan menerimanya jika memang diniatkan dengan tulus dari pihak anti-integrasi. Namun, itu pun tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip kita sebagai pendukung integrasi, dan tidak boleh melanggar keyakinan yang telah kita pegang teguh. Rekonsiliasi juga tidak boleh dijadikan sebagai upaya pengakuan terhadap eksistensi atau legitimasi negara Timor Leste.

Yang perlu diingat adalah, dengan atau tanpa rekonsiliasi, Timor Timur tetaplah milik semua insan Timor Timur—mereka yang lahir dan besar di sana, serta leluhur mereka yang telah berakar di tanah tersebut. Tidak ada satu pun manusia atau lembaga dunia mana pun yang berhak mencabut hak kita atau menyangkal keberadaan kita sebagai bagian dari Timor Timur. Hak ini adalah hak sejarah, yang tidak bisa dihapus oleh waktu ataupun politik.

Saran saya kepada kita semua, jangan terburu-buru atau terpesona oleh ajakan rekonsiliasi yang datang dari pihak yang selama ini tidak menunjukkan itikad baik. Martabat kita tetap tinggi, karena kita selalu berada di jalur yang benar, memegang nilai-nilai persatuan dan perdamaian. Jika ada rekonsiliasi yang sejati, biarlah itu dimulai dengan pengakuan dan penghentian sikap diskriminatif yang selama ini mereka tunjukkan kepada kita.

Mari kita terus teguh dengan keyakinan dan semangat integrasi kita. Kita tidak perlu merasa terikat atau berkepentingan dengan sebuah rekonsiliasi yang mungkin hanya sekadar formalitas. Tetap jaga martabat kita.

Rekonsiliasi hanya akan bermakna jika dilandasi oleh penghormatan terhadap martabat, nilai-nilai persatuan, keadilan, dan kesetaraan. Jangan terpesona atau tergoda oleh janji-janji kosong. Kita telah bertahan, dan akan terus bertahan, dengan integrasi sebagai dasar perjuangan kita.

"In necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas."

[Bersatu dalam hal-hal yang penting, bebas dalam hal-hal yang meragukan, dan yang terpenting dari semuanya adalah kasih.]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama