Sang Tai Hoo, Sebuah Tempat Penyiksaan di Dili


Matheos Messakh
Satutimor.com, Waingapu

KITA mengenal kamp konsentrasi Nazi Jerman di Auschwitz, Ladang Pembantaian Choeung Ek, dan pusat penyiksaan dan pembantaian Tuol Sleng di Kamboja, tapi banyak yang tidak mengetahui bahwa para serdadu Indonesia melakukan hal serupa di Timor-Leste.

Hanya dalam hitungan hari setelah invasi Indonesia ke Dili, pasukan-pasukan Indonesia telah menjadikan sejumlah gedung yang mereka kuasai di kota itu sebagai pusat-pusat penyiksaan yang keji.

Salah satu tempat yang dijadikan tempat penyiksaan adalah sebuah gedung toko di wilayah Colmera yang dikenal dengan Sang Tai Hoo. Sang Tai Hoo hanyalah salah satu dari sejumlah gedung yang digunakan sebagai tempat interograsi dan penyiksaan. Tempat lain yang juga digunakan untuk kepentingan serupa adalah sejumlah gedung di Pelabuhan Dili[1] dan gedung SOTA[2], bekas penjara Portugis di Balide yang dikenal sebagai Comarca, gedung Tropical[3], dan sejumlah rumah di daerah Farol.

Perlakuan kejam dan penyiksaan dilaporkan secara luas oleh mantan tahanan di semua tempat ini, tetapi pernyataan-pernyataan itu menunjukkan, bahwa setiap lokasi mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Dua dari lokasi penahanan utama pada tahun-tahun awal pendudukan adalah penjara Comarca di Balide dan gedung Sang Tai Hoo di Colmera. Sang Tai Hoo dilaporkan digunakan sejak masa pendudukan sampai tahun 1980, walaupun mungkin masih digunakan pada tahun 1981 sedangkan Comarca tetap digunakan sampai tahun 1999.

Sang Tai Hoo adalah sebuah toko Cina selama masa Portugis di satu-satunya pusat pertokoan di Dili yaitu Colmera. Gedung itu memiliki dua lantai. Lantai bawah terdiri dari dua ruangan dan sebuah garasi dan di lantai atas hanya terdapat dua ruangan sangat kecil dengan ventilasi yang sangat buruk. Ruang di lantai bawah masing-masing menampung sekitar 20 orang tahanan[4] dan jika ruang-ruang ini penuh, para tahanan disekap di lantai atas, tiga orang tahanan dalam satu ruangan. Menurut António Caleres Junior seringkali Sang Tai Hoo menampung sampai 200 tahanan.[5] Kondisi di sana sangat tidak higienis dan tahanan harus buang air di toilet dalam ruangan tersebut.[6] Para tahanan membersihkan toilet itu sendiri. Maria Fatima Maia, yang pernah ditahan di Sang Tai Hoo, mengenang:

“Mereka memindahkan saya ke sel lain yang kondisinya sangat buruk – airnya tersumbat banyak lendir dan kotoran manusia…saya tidak bisa melihat matahari, saya hanya bisa melihat melalui ventilasi, tetapi mereka juga menutup ventilasi itu.”[7]

Militer Indonesia lebih memfungsikan Sang Tai Hoo sebagai pusat interogasi dan penyiksaan daripada sebagai tempat untuk menahan para tahanan. Tahanan-tahanan dari pusat penahanan lain seperti Comarca dibawa ke Sang Tai Hoo untuk diinterogasi.

Francisco Calçona, misalnya, ditangkap dan ditahan segera setelah invasi karena keanggotaannya dalam Fretilin. Ia mengatakan bahwa awalnya ia ditahan di gedung SOTA, namun kemudian ia dipindahkan ke gedung Tropical pada 19 Desember dan setelah itu dibawa ke Sang Tai Hoo untuk diinterogasi. Selama interogasi, ia dipaksa melompat dengan sebuah tongkat kayu yang diapit di belakang lututnya dan lubang hidungnya dimasuki rokok yang menyala. Kemudian para interogator menyuruh dia menjewer telinganya sendiri dan mereka menulis “hau Fretilin” (saya Fretilin) di dahinya dengan cat. Dia juga disuruh memakai helm dan mereka memukul kepalanya dengan besi. [8]

Demikian hanya juga dengan Moises Mesquita de Almeida, seorang anggota Falintil dan kakak laki-lakinya Manuel Soares ditangkap pada November 1976 dan ditahan di Comarca, tetapi kemudian dibawa ke Sang Tai Hoo untuk diinterogasi. Moises mengatakan kepada Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (lebih dikenal dengan singkatan Portugis CAVR) bahwa 12 November 1976, ia telah disiksa dan dianiaya dalam sebuah diinterogasi oleh seorang kolonel Indonesia, T224.  “[Saya] dipukuli, ibu jari kaki saya ditindis di bawah kaki kursi yang diduduki oleh dua anggota ABRI, ditendang di muka yang membuat gigi saya hampir copot, telinga saya dipukul sampai berdarah dan saya menjadi tuli dan bentuk-bentuk siksaan lainnya.”[9]

Seorang mantan tahanan lain, Francisco Soares Henrique mengatakan kepada CAVR:

“Setelah satu bulan di Tropikal kami dipindahkan ke penjara Balide. Di sana setiap hari Senin kami dikeluarkan dan dibawa ke Sang Tai Hoo untuk diinterogasi. Di Sang Tai Hoo kami diperlakukan tidak manusiawi, dipaksa untuk minum air kencing ABRI, dipukul hingga berdarah-darah. Kemudian dipaksa berdansa dengan tahanan perempuan [ia menyebutkan nama namun demi kepentingan etis Redaksi menyembunyikan nama-nama ini] yang hanya bercelana dalam dan BH. Saya ditahan selama tiga tahun dan baru dibebaskan pada tahun 1978”.[10]

Sebagian besar interogasi dilakukan di pojok sebuah koridor, agar tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Di lantai yang sama ada sebuah kantor administrasi, yang kadang juga digunakan untuk interogasi.[11] Para penjaga sengaja tidak mengunci pintu-pintu sel agar mudah untuk membawa pergi tahanan. Maria Fatima Maia (1981) mengatakan kepada CAVR:

“Saya selalu dipanggil mendadak untuk interogasi pada malam hari, dari jam 07.00 malam sampai tengah malam. Setelah diinterogasi saya dibawa ke sel lain yang ada WC-nya. Pagi hari, mereka membawa saya keluar dan memasukkan saya ke gudang yang hanya punya satu lubang di pintu. Setiap pagi mereka memberi makan lewat lubang di pintu itu.”[12]

Sang Tai Hoo tidak dilaporkan dalam pernyataan-pernyataan setelah tahun 1981, barangkali merupakan petunjuk bahwa pusat ini tidak lagi digunakan untuk interogasi dan/atau penyiksaan.

Pola-pola praktik penahanan kelihatan dengan jelas yaitu penggunaan lokasi-lokasi penahanan resmi dan tidak resmi dan dengan menggunakan lokasi-lokasi yang berbeda untuk tujuan yang agak berbeda-beda. Comarca digunakan untuk penahanan jangka panjang dan Sang Tai Hoo atau Tropical untuk interogasi dan penyiksaan. Komando-komando dan basis-basis militer juga seringkali digunakan untuk menahan tahanan, kadang sampai beberapa tahun. Menurut CAVR, pola ini berlangsung selama periode pendudukan.[13]

Pola lain yang muncul, menurut CAVR, adalah pemindahan para tahanan yang terjadi antara beberapa tempat penahanan yang berbeda, yang kadang terjadi dalam satu malam.[14] CAVR menduga perlakuan terhadap para tahanan seperti ini disebabkan oleh fungsi tempat-tempat penahanan untuk tujuan yang berbeda.[15] Juga, interogator yang berbeda mencari informasi yang berbeda atau informasi yang sama dengan cara yang berbeda.

Chiquito Gutteres, seorang mantan tahanan menjelaskan, bahwa jika interogator yang satu tidak memperoleh informasi yang diinginkan, tahanan itu akan dikirim pada interogator yang lain yang menggunakan cara-cara yang lebih kasar lagi. Chiquito ditahan pada tahun 1996 dan dipindah antara beberapa tempat penahanan, menjelaskan:

“Alasan mereka memindahkan saya…pertama karena mereka tidak mendapatkan cukup bukti yang kuat untuk membawa saya ke pengadilan untuk disidang, kedua mereka mengira bahwa SGI Colmera, karena mereka lebih kasar, bisa menyiksa saya untuk mendapat bukti yang kuat, ketiga agar mereka dapat menyiksa saya lebih berat supaya saya menyebutkan nama-nama anggota dan pejuang klandestin di hutan.”[16]

Menurut CAVR, alasan-alasan ini (yaitu untuk memperoleh bukti keterlibatan yang lebih kuat dan juga untuk memperoleh nama orang-orang lain yang terlibat dalam perlawanan) umumnya diterapkan pada dasawarsa 1970-an.

Pola yang paling umum berlaku adalah para tahanan pertama-tama akan dibawa ke pusat-pusat penahanan informal seperti Tropical[17] dan Sang Tai Hoo, yang digunakan untuk interogasi dan penyiksaan, sebelum dikirim mereka ke Comarca.[18]

Pemindahan seseorang tahanan yang terjadi berkali-kali, terutama pada malam hari, merupakan sebuah cara untuk mengintimidasi, membuat bingung serta menanamkan rasa takut kepada para tahanan. Nasib seorang tahanan setelah dibawa ke sana kemari tidak pernah pasti. Bisa saja dibawa ke sebuah tempat lain berarti akhir dari hidupnya.

Banyak pemimpin senior Fretilin dan para komandan Falintil dibawa ke Dili, dan ditahan di Comarca (Balide, Dili), atau di Sang Tai Hoo.[19] Sebagian besar dari mereka kemudian hilang, sekitar Maret-April 1979, termasuk beberapa orang yang dibebaskan dari tahanan lalu ditahan kembali. Beberapa di antara mereka dilaporkan dibawa ke tempat-tempat eksekusi di dekat Dili, seperti di Tacitolu, di arah barat Dili, dan Areia Branca, di arah timur Dili. Tawanan lainnya dilaporkan dipindah ke pusat-pusat penahanan di luar Dili, sebelum mereka dieksekusi di tempat-tempat tak jauh dari situ.[20]

Tokoh senior Fretilin, Sera Key (Juvenal Inácio), Leopoldo Joaquim, Anibal Araújo dan José Alcino João Baptista Soares de Jesus, adalah beberapa diantara para tahanan yang dibebaskan dari Sang Tai Hoo namun kemudian ditangkap lagi dan dibawa ke Baucau, sebelum akhirnya dieksekusi di Lacudala, Lospalos (Lautem) atau Uatu-Lari (Viqueque).[21]

Bukan hanya mereka yang merupakan anggota gerakan perlawanan atau dicurigai sebagai anggota yang ditahan di pusat-pusat penyiksaan ini, anak-anak kecil pun diinterogasi. Maria José Conceição Franco Pereira, yang saat ditahan berusia empat (4) tahun, mengatakan bahwa ia ditangkap bersama ibunya oleh dua orang anggota ABRI. Mereka ditahan antara tahun 1976 dan 1979. Di bawah ini dia menceritakan perlakuan mereka di Sang Tai Hoo:

“Ibu saya ditangkap bersama beberapa perempuan lain dan anak-anak mereka di Becora [Dili] karena kakak laki tertua saya adalah anggota Fretilin dan seluruh keluarga saya telah melarikan diri ke hutan kecuali ibu saya, yang seorang perawat. Ibu dan saya dibawa ke Sang Tai Hoo…Malamnya ibu diinterogasi. Dia ditampar, dicambuk, diludahi, disetrum, disundut dengan rokok dan diancam dengan pistol. Saya hanya bisa melihat… Hari berikutnya, ABRI menangkap seorang laki-laki yang sangat tua dan anaknya yang mungkin dua atau tiga tahun lebih tua dari saya saat itu. ABRI mulai menginterogasi mereka, tetapi laki-laki tua itu hanya diam. Kemudian anaknya menjawab karena dia mengetahui Fretilin yang menggunakan senjata di Marabia [Lahane, Dili]……Setelah itu ABRI bilang bahwa anak-anak tidak bohong dan mereka mulai menyiksa saya. Setiap kali mereka menyiksa saya ibu saya berteriak dan meminta mereka untuk menyiksa dia saja…Suatu saat seorang tentara mengangkat saya dengan memegang telinga saya, dan menggantungkan saya diluar jendela [tingkat pertama] di atas jalan di bawah”.[22]

Para tahanan juga disekap dalam kondisi yang tidak manusiawi. Banyak yang melaporkan, mereka dilucuti pakaian mereka dan ditahan dalam keadaan telanjang selama berminggu-minggu. Tahanan lain melaporkan, bahwa mereka tidak diberi makan dan minum. Berikut adalah kisah lengkap seorang tahanan perempuan yang ditahan di Sang Tai Hoo.

Kisah Penyiksaan terhadap FN[23]

FN adalah seorang anggota kelompok pelajar Fretilin Unetim (União de Nasional Estudantes de Timor), yang berkegiatan di Baucau dan Aileu dan kemudian menjadi anggota kelompok perempuan Fretilin OPMT (Organização Popular de Mulheres Timor) di Dili. Pada bulan Januari 1976, ketika dia berusia sekitar 16 tahun, temannya Filomena Aniceto, datang ke rumahnya dan mengatakan bahwa militer memanggil mereka berdua ke Sang Tai Hoo untuk interogasi. FN mengatakan kepada Komisi:

Filomena dan saya duduk bersama, mendengarkan pertanyaan yang diajukan penerjemah, T229, seorang perempuan Timor Timur. Tentara menanya kami berdua, “Apakah anda mahasiswa Unetim? Sekarang ceritakanlah kegiatan atau misi Unetim selama ini, karena kami mendengar kalian berada di Aileu [Aisirimou] [disitu ada basis Fretilin pada masa konflik internal].

Di sana kalian hidup sebagai binatang – benar atau tidak?” Kami berdua menjawab bahwa itu tidak benar. Tetapi mereka tetap menginterogasi kami dan memutar balik kata-kata kami…hingga malam.

Sesudah [interogasi] mereka memaksa teman saya Filomena Aniceto tetap tinggal di Sang Tai Hoo, namun saya disuruh pulang ke rumah. Di kemudian hari saya dipanggil kembali untuk diinterogasi…Mereka menyampaikan kepada saya, bahwa teman-teman saya [para mahasiswa Unetim di Aileu], yang diinterogasi sebelum saya, telah menyatakan bahwa kami melakukan hal yang sama di Aileu dan kehidupan kami seperti binatang. Mereka mendekati saya dan mulai meraba-raba dari kepala sampai kaki. Badan saya terasa dingin seperti mayat, tetapi dalam hati saya selalu pinta Bunda Maria agar melindungi saya dari segala apa yang mereka lakukan.

Waktu itu saya teriak dan menangis, tetapi mereka marah-marah dan mereka bilang saya anjing betina. Mereka menarik rambutku dan mengatakan, “Sekarang coba engkau membujuk para lider Unetim dan Fretilin supaya mereka datang untuk menyelamatkan kamu.” Mereka memeriksa saya, memutar balik kata-kata saya, hingga petang hari.

Pada hari kelima interogasi, militer datang ke rumah saya pada suatu hari Senin dengan truk yang besar. Semua orang tahu truk militer itu diparkir di depan rumah saya. Saya tidak merasa kaget…tetapi orang tua saya merasa marah karena berulang kali orang datang membawa saya untuk diinterogasi. Jadi pada kali kelima, ibu saya juga mendampingi saya…Mereka membawa saya ke Hotel Tropical…Di sana mereka melarang mama saya untuk ikut masuk…Pada saat saya naik ke tangga untuk lantai atas, pasukan mengeroyok mendorong saya dengan senjata di belakang saya. Mereka berteriak supaya saya cepat-cepat ke sana. Pada waktu itu saya melihat ada banyak tahanan yang berada di gedung tersebut. Interogasi saya dijalankan oleh seorang tentara Indonesia bernama T230 dan seorang penerjemah Indonesia bernama T231. Ia bertanya kepada saya, “Kapan pasukan dari luar negeri datang ke Timor-Timur untuk melawan kami pasukan Indonesia?” Dengan kata-kata seperti itu dan tuduhan-tuduhan, mereka mencoba mulai berdalih dengan orang yang diinterogasi. Mereka menuduh bahwa saya dipaksa orang menjadi anggota Unetim dan Fretilin. Lalu mereka mencuci bendera merah putih dan menyuruh saya minum air cucian itu. Kemudian mereka dengan kain hitam menutupi muka saya, dan memasang helm di kepala saya, lalu memukul saya dengan kayu pendek yang biasanya dipakai oleh polisi [castete]. Mereka memukuli saya sampai pingsan…Mereka lepaskan kembali helm dan kain hitam tersebut, kemudian mereka memukul saya dengan ujung castete. Itu kena di kepala saya sampai memar dan berdarah.

Setelah interogasi mereka selesai, FN dan Filomena disuruh bekerja di rumah komandan setiap hari, untuk mengurus bunga-bunganya. Menurut penuturan FN, tiap pagi mereka dijemput dengan truk militer, sampai mereka dilupakan begitu saja. FN mengutarakan dampak dari hubungannya dengan militer terhadap hidupnya:

Lalu di antara masyarakat muncul isu-isu terhadap kami bertiga. Kami bertiga sering dicurigai oleh teman-teman lain, bahwa kami sudah melakukan hubungan seksual dengan bapak-bapak ABRI, sehingga mereka melontarkan kata-kata kepada kami bertiga bahwa kehidupan kami sudah busuk seperti kentang yang busuk [fehuk ropa dodok]. Isu tersebut muncul karena kami bertiga selalu dipindah-pindah ke tempat yang berbeda-beda untuk diinterogasi. Semuanya isu itu gara-gara kami bertiga pernah disuruh ke tempat RT Pang [rumah tangga Panglima Brigjen Dading Kalbuadi] di Farol untuk menanam bunga di pot-pot yang ada. Setiap hari kami bertiga dijemput oleh sebuah mobil militer ke tempat rumah tangga Pang untuk merawat bunga-bunga tersebut.[24]

Siapakah para pejabat militer di balik tembok-tembok penyiksaan ini? Tentu saja pertanggungjawaban adalah tanggungjawab komando, namun mereka yang langsung berurusan dengan para tahanan juga patut diketahui.  CAVR berhasil mendapatkan nama-nama dari banyak orang Indonesia yang bekerja di Sang Tai Hoo dan markas Kotis.[25] Sang Tai Hoo dipimpin oleh seorang Mayor Bambang, dan pusat interogasi Kotis oleh seorang mayor Syamsun. Komandan atas seluruh Kotis dikenal sebagai Mayor Sunarto. Para interogator lain di dua tempat itu, antara lain Mayor Sinaga, Mayor Ganap, Mayor Mukhdi, Kapten Ali Musa, Mayor Sitorus, Mayor Yani, Mayor Freddy dan beberapa lainnya lagi, seperti Gunardi dan Aziz Hasyim yang pangkatnya tidak diketahui. Banyak dari para perwira ini dipercaya masih hidup dan bisa menceritakan apa yang telah terjadi dengan para tawanan yang hilang selama dalam penahanan mereka itu.

***

Sang Tai Hoo, adalah sebuah toko yang diambil alih militer untuk menjadi tempat penyiksaan. Sama seperti Tuol Sleng di Kamboja yang sebelumnya merupakan “sekolah Tuol Svay Prey Secondary School” yang kemusian pada masa rezim Khmer Merah berkuasa areal Sekolah yang terdiri atas empat gedung bertingkat 3 gedung dijadikan sebagai Penjara dan Tempat Intrograsi para Tahanan. Bedanya, Tuol Sleng sekarang telah dijadikan Museum Genosida Tuol Sleng untuk mengenang “17.000 orang” (perkiraan lain menunjukkan angka setinggi 20.000, meskipun jumlah sebenarnya tidak diketahui) yang ditahan dan dibunuh di sini selama tahun 1975-1979.

Semoga negara baru di abad-21 Timor-Leste tidak melupakan sejarah mereka yang pedih dan semoga negara Republik Indonesia juga tidak terus mengingkari sejarah masa lalunya yang kelam, secara terbuka mengakui masa lalu dan bersedia menjalani semua proses yang sewajarnya untuk pengungkapan kebenaran, serta bertanggungjawab dalam merehabilitasi dan memulihkan masa lalu. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak sekali-kali melupakan sejarah” kata proklamator Negara Indonesia, Bung Karno. [S]


Catatan Akhir

[1] Lihat sebagai contoh Pernyataan HRVD 3752; 4881; 0175 ; Wawancara CAVR dengan Maria Olandina Isabel Cairo Alves, Dili, 6 Mei 2004. Untuk 1975/1976 lihat Pernyataan HRVD: 3742; 5666; 5107; 5050.

[2] SOTA (Sociedade Oriental do Transportes e Armazens, sebuah bangunan perusahaan perdagangan Portugis. Saat laporan CAVR diselesaikan sekitar tahun 2005, gedung ini adalah Dili Trade Center).

[3] Lihat Pernyataan HRVD: 5092; 4881; 5730; 7011; 5725; 3742; 3607; 5683 ; 0175; 0113;

3780; 3752; 5050; 0041. Pernyataan-pernyataan yang diberikan kepada CAVR menunjukkan, bahwa Tropical digunakan terutama pada tahun 1975-76. Kemudian pada tahun 1999 diduduki lagi oleh milisi Aitarak dan digunakan untuk menahan para pendukung kemerdekaan.

[4] Amnesty International, Statement of Amnesty International’s Concern in Indonesia and East Timor ,

ASA: 21/05/80, London, 29 April 1980, hal. 10

[5] Wawancara CAVR dengan António Caleres Junior, Dili, 2 Oktober 2004.

[6] Wawancara CAVR dengan Maria Fatima Maia, Dili, 16 Februari 2003.

[7] Ibid

[8] Wawancara CAVR dengan Francisco Calçonha, 31 Agustus 2004, Dili.

[9] Pernyataan HRVD 5666.

[10] Pernyataan HRVD 5730.

[11] Wawancara CAVR dengan Jacinto Alves, Dili, 5 Agustus 2004.

[12] Wawancara CAVR dengan Maria Fatima Maia, Dili, 16 Februari 2003

[13] Laporan Akhir CAVR, Bab 7.4: Penahanan Sewenang-wenang, Penyiksaan dan Penganiayaan, hal. 106.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] CAVR, wawancara dengan Chiquito da Costa Guterres, Dili, 14 Juni 2004.

[17] Lihat, misalnya, Pernyataan HRVD 4881; 5730; 0175; 0113; 3752; 3780; 5050; 0041.

[18] Lihat, misalnya, Pernyataan HRVD 0175; 0113; 3752; 4881; 3780; 5050. Militer Indonesia memanfaatkan para tahanan untuk merenovasi gedung Comarca pada awal tahun 1976.

[19] Lihat HRVD, pernyataan 08041, 05671, 03759, 08037, 03742, 08115, 05775, 03529.

[20] Wawancara dengan Justino Mota, Lisbon 4 Juli 1984 (Dokumen disubmisi kepada CAVR oleh Anthony Goldstone).

[21] Laporan Akhir CAVR, Bab 7.2. Pembunuhan di Luar Hukum dan Penghilangan Paksa, hal. 84

[22] Maria Jose Franco Pereira, kesaksian dalam Audensi Publik CAVR mengenai Penahanan Politik, Dili, 17-18 Februari 2003.

[23] Untuk keseluruhan bagian ini, lihat laporan Akhir CAVR, Bab 7.4: Penahanan Sewenang-wenang, Penyiksaan dan Penganiayaan  hal. 112-113.

[24] Wawancara CAVR dengan Maria de Fatima Acacio Guterres Leong, Dili, 21 Februari 2003.

[25] Laporan Akhir CAVR, Bab 7.2. Pembunuhan di Luar Hukum dan Penghilangan Paksa, hal. 84.


Sumber 1, sumber 2

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama