Cerita bermula dari bangkrutnya Bank Summa pada 1992. Ada kebijakan bahwa Bank Summa hanya bisa mengembalikan uang nasabah tak lebih dari 10 juta. Lalu ada seorang mahasiswa yang hendak mengambil uangnya memaksa agar semua tabungannya yang berjumlah 11 juta diserahkan. Tapi karena kebijakan tadi itu maka Bank Summa hanya bisa mengembalikannya sebanyak 10 juta. Mahasiswa itu ngotot meminta 11 juta.
Kebetulan waktu itu Theo ada di tempat kejadian. Naluri intelijen Theo muncul. Ia menanyai identitas mahasiswa tersebut. Ternyata mahasiswa itu anak orang biasa yang berasal dari daerah yang dikenal miskin. Uang 10 juta waktu itu jelas banyak sekali.
Karena curiga, rumah mahasiswa itu digeledah. Ternyata di sana banyak ditemukan mata uang asing dengan jumlah banyak. Dari situ terbongkar bahwa si mahasiswa itu adalah penghubung Xanana dengan dunia internasional. Setelah diinterogasi, akhirnya didapat info di mana Xanana bersembunyi. Keesokan paginya, Xanana dengan mudah tertangkap.
Cerita belum berhenti di situ. Theo lantas menelpon Pangab yang dijabat Try Sutrisno. Theo bertanya Xanana harus dibagaimanakan, apakah dbiarkan hidup atau langsung dihabisi saja. Jawaban Try begini: “Sik, sik, sik, mengko tak telpon!” (nanti, nanti, nanti… saya telpon lagi!).
Ternyata instruksinya kemudian Xanana dibiarkan hidup. Apakah sejarah akan berubah jika waktu itu Try langsung bilang Xanana dihabisi saja? Waduh, saya gak berkompeten menjawabnya. Lagian kan sejarah tak mengenal kata “if”. Mungkin Xanana mesti berterimakasih pada Try Sutrisno karena tak langsung menjawab: “Wes, pateni ae!”
Ada satu cerita lagi, ini juga masih menurut versi Theo Syafei. Xanana waktu itu ditangkap bersama dengan seorang perempuan anak SMA. Kata Theo: “Itulah kesukaan Xanana. Kan, untuk Xanana, harus ada perempuan di mana-mana.”