Timor Leste: Libur 9 Bulan Karena Bahasa

Sejak tanggal 20 Mei 2002, Timor Timur, bekas provinsi ke-27 Indonesia, memiliki nama negara resmiRepublika Demokratika Timor Leste, yang lalu lebih populer dengan Timor Leste.

Timor Leste memiliki beban berat sebagai sebuah negara baru di awal abad 21. Selama 4 abad di bawah kolonialisme Portugis, tidak banyak pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Sudahlah menjadi pengetahuan umum bahwa penjajah(an) tidak memperhatikan kemakmuran daerah jajahan. Tetapi sebaliknya: eksploitasi sebesar-besarnya untuk kepentingan penjajah(an) itu sendiri yang utama. Pendidikan, yang dianggap sebagai ujung tombak kemajuan, sama sekali tidak diperhatikan oleh Portugis selama 450 tahun. Pendidikan hanya diadakan secara terbatas untuk memenuhi tenaga administrasi penjajahan. Oleh karena itu masyarakat yang dididik pun harus dipilih-pilah: terutama untuk anak penjajah sendiri, Liurai (raja) dan ras campuran (mestico).

Tidak terlepas dari itu proses perkembangan bahasa Portugis juga tidak merata karena hanya bisa dimengerti  dan digunakan oleh kalangan yang terdidik, sedangkan penduduk yang melek huruf tetap mengunakan bahasa daerahnya masing-masing.

Harapan  masyarakat Timor Leste untuk merdeka muncul ketika terjadi revolusi Bunga Anyelir di Portugis tahun 1974. Revolusi itu sendiri dipelopori oleh kelompok militer berhaluan kiri yang tergabung pada Movimento das Forcas Armadas (MFA) yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan Portugis. Masa-masa kegoncangan politik dan ekonomi di Portugis ini memberi dekolonialisasi pada daerah jajahannya, berdasarkan peraturan PBB. Pada pertengahan tahun 1975 sempat terjadi perang saudara di Dili (sekarang ibukota Timor Leste), dan partai APODETI yang tersingkir ke Timor Barat menyatakan integrasi dengan Indonesia, beberapa hari setelah Deklarasi Balibo 1975.

Indonesia mulai menginvasi Timor Leste dan menguasai Dili pada tanggal 7 Desember 1975, walaupun sebelum invasi Fretelin telah mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste secara sepihak pada tanggal 28 November 1975 karena mengetahui  bahwa Indonesia akan melancarkan Invasi. Lima tahun pertama integrasi digunakan pemerintah Indonesia untuk melakukan beberapa program percepatan pembangunan prasarana fisik yang cukup intensif, seperti pembuatan infrastruktur jalan, sekolah, saluran irigasi, tempat ibadah, rehabilitasi kantor-kantor, dll.

Indoktrinasi ideologi Pancasila dan keharusan penggunaan bahasa Indonesia dimasukkan dalam kurikulum ataupun aturan-aturan baku dalam lembaga-lembaga pemerintahan dan sekolah. Politik ABRI Masuk Desa diterapkan sehingga di setiap pelosok  desa hampir terlihat pos-pos ABRI yang berbaur dengan masyarakat desa. Hal ini berdampak positif terhadap perkembangan bahasa Indonesia, sehingga kakek-kakek maupun nenek-nenek bisa berbahasa Indonesia walau hanya sebatas memahami dan mengunakan beberapa kata saja. Anehnya, Pemerintahan Soeharto melarang penggunaan bahasa Portugis dalam percakapan keseharian, dan mendorong penggunaan bahasa Tetun secara lebih meluas, selain bahasa Indonesia.

Masyarakat Timor Leste sendiri  berasal dari 300 suku-bangsa, dengan 16 macam bahasa yang berbeda. Namun bahasa Tetun adalah bahasa lokal yang paling banyak digunakan  sampai saat ini. Kebanyakan masyarakat Timor Leste bisa mengunakan maksimal 4 bahasa dalam berkomunikasi satu sama lain.

Sejak lepasnya Timor Leste dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, muncul hal baru dalam penetapan bahasa. Mau tidak mau, konstitusi Republik Demokratik Timor Leste telah mengesahkan, lewat artikel 13 alinea 1, bahwa Bahasa Portugis and Bahasa Tetun adalah bahasa ofisial (bahasa resmi) Republik Demokratik Timor Leste. Apakah ada yang dirugikan dengan ditetapkanya dua bahasa resmi ini?

Bahasa Portugis yang terkubur selama pemerintahan Soeharto telah hadir kembali, sedangkan Bahasa Tetun (bahasa ibu Timor Leste, meskipun ada bahasa daerah tersendiri di setiap wilayah Timor Leste) yang mengalami perubahan selama masa Kolonialis Portugis dan Indonesia, yaitu Tetun Terik (bahasa Tetun asli) ke dalam Tetun Prasa (bahasa Tetun yang banyak menyerap kosakata dari Bahasa Portugis dan Bahasa Indonesia) tidak ditata dengan benar oleh penjajah. Bahasa Tetun tidak ditempatkan dalam kurikulum pendidikan selama rezim Soeharto. Akibatnya, buku-buku dalam bahasa Tetun jarang ditemukan, kecuali Alkitab dan beberapa buku dan diktat gereja yang diterjemahkan dalam bahasa Tetun oleh para pastor. Bahasa Tetun yang sudah membudaya ini menjadi kurus oleh ulah penjajah, dan para linguis butuh waktu lebih untuk menata bahasa ibu tersebut.

Perubahan administrasi pemerintahan yang berujung pada berubahnya kebijakan bahasa di Timor Leste turut memberi dampak pada sistem pendidikan dari Taman Kanak-kanak sampai universitas. Bahasa pengantar telah berubah dari bahasa Indonesia ke bahasa Portugis dan Tetun. Ini membuat guru maupun murid mengalami kesulitan dalam proses belajar-mengajar. Buku pelajaran harus diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis dan Tetun, sedangkan buku-buku pelajaran yang didatangkan dari negara-negara CPLP (Komunitas Negara Berbahasa Portugis) sulit digunakan para guru karena kebanyakan berasal dari kaum yang belum fasih berbahasa Portugis.

Lucunya, setiap tahun banyak pelajar Timor Leste yang memilih untuk kuliah di Indonesia, mengingat bahasa Indonesia lebih mudah dipahami dan biaya kuliah di Indonesia lebih murah dibandingkan dengan Portugis, Australia, dan negara-negara lain. Apakah sekembali dari Indonesia mereka harus mengikuti kursus Portugis lagi, dan sebagai seorang tamu asing bagi bahasa resminya? Proses seperti ini sedang terjadi di Timor Leste. Generasi yang berbekal bahasa Indonesia ini harus berhadapan dengan generasi yang baru lahir di era kemerdekaan: manusia Timor Leste yang, karena mulai beradaptasi di lingkungan ‘Portugis’, lebih fasih berbicara dengan bahasa tersebut. Ruang sekolah adalah salah satu tempat dua generasi ini bertemu. Dan generasi berlidah bahasa Indonesia ini berperan sebagai pengajar. Tentu bisa dibayangkan kesulitan komunikasi yang terjadi akibat beda-lidah ini. Konsekuensinya, para murid harus diliburkan selama 9 bulan (!) guna memberikan kesempatan kepada para guru untuk mengikuti kursus bahasa Portugis.

Di sini kita bisa melihat saling-taut antara sejarah penjajahan, doktrinasi ideologi, perubahan administrasi pemerintahan, dan bahasa telah memunculkan satu kepelikan sosial bagi sebuah masyarakat tutur. Pendidikan nasional terpaksa ditunda selama 9 bulan, sebuah durasi ikonik yang seolah menandakan bahwa mereka yang ikut kursus Portugis itu bakal ‘lahir-baru’ dengan bahasa baru.

Sepengetahuan saya, kejadian seperti ini baru terjadi di Timor Leste saja. Dan semoga cukup di Timor Leste saja.

Sumber

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama