Saya merupakan pendukung batas kepemimpinan dua masa jabatan presiden Amerika Serikat (AS) seperti yang ditetapkan dalam Konstitusi mereka. Jika kami memiliki peraturan yang sama di Timor Leste, rasanya saya tak akan berbusa-busa menjelaskan alasan mundur sebagai Perdana Menteri (PM) sesudah delapan tahun memimpin Timor Leste. Namun, Timor Leste tak memiliki undang-undang yang mengatur batasan masa jabatan seorang pemimpin.
Jadi sekarang, saya merasa perlu menegaskan kembali bahwa inilah saatnya pemimpin baru Timor Leste mengambil alih kendali demi memajukan bangsa.
PM baru kami bernama Rui Araujo. Saya pertama kali bertemu Araujo kala ia masih menjadi mahasiswa jurusan kedokteran. Berkuliah di Indonesia, ia mempertaruhkan nyawa dengan menjadi kurir informasi. Data-data itu kemudian diberikan ke saya sebagai pemimpin perlawanan. Ia merupakan penasihat sekaligus mantan wakil PM yang membanggakan.
Kabinet Araujo menawarkan bakat-bakat segar di Timor Leste. Di lain sisi, ia mempertahankan menteri-menteri kami yang terbaik dan kaya pengalaman. Apa yang telah ia putuskan akan memungkinkan para pemimpin muda ini cepat membangun bangsa. Dengan kata lain, Timor Leste bakal menanggalkan era pemimpin lama mereka.
Araujo juga memangkas anggota kabinet hingga nyaris sepertiga. Bagi saya, pemangkasan mampu menyokong pemerintahan yang lebih gesit dan efisien.
Rakyat memahami bahwa kami tak bisa secara efektif membangun negeri di tengah-tengah politik yang fanatik kepada partai. Maka dari itu, empat partai yang duduk dalam Parlemen Nasional bersedia membentuk persatuan dalam pemerintahan. Kondisi semacam ini turut mendukung kohesi dan stabilitas nasional. Pada saat yang sama, pemahaman juga memudahkan pemerintah menarik putra-putri terbaik demi membangun bangsa.
Saya bahagia ketika akhirnya menanggalkan delapan tahun masa jabatan. Di lain sisi, saya tak ingin melepaskan tujuan utama demi meraih kedaulatan bangsa, sepenuhnya.
Impian itu yang selama 17 tahun lalu saya perjuangkan. Bersama rakyat Timor Leste, saya menentang habis-habisan kediktatoran militer Indonesia, yang mulai menginvasi kami pada 1975. Mimpi akan Timor Leste yang berdaulat memaksa saya memimpin perjuangan selama tujuh tahun dari balik penjara Indonesia.
Perjuangan kami bukannya tanpa kesedihan. Sekitar 200.000 orang meninggal sepanjang era perlawanan. Jumlahnya nyaris seperempat dari keseluruhan populasi kami. Mereka wafat di medan perang dan akibat kelaparan.
Kematian mereka menjadi beban yang mesti saya pikul, setiap hari.
Timor Timur akhirnya merdeka pada 2002. Kami merdeka sesudah melakukan jajak pendapat pada 1999. Begitu banyak yang kami rayakan. Begitu banyak pula terima kasih kepada teman-teman kami, termasuk mantan Presiden AS Bill Clinton. Pada masanya, ia membantu meyakinkan tentara Indonesia agar mau menerima kehadiran pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur.
Bermula pada 2002, kami mesti membangun suatu negeri dari sisa-sisa debu masa lalu yang traumatis. Kami mesti merancang dan mengimplementasikan suatu sistem pemerintahan, berikut birokrasi dan finansial.
Negara baru ini harus kembali membangun infrastruktur yang rumpang dan mulai menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan lain-lain bagi rakyat kami; mereka yang telah lama tersakiti. Kami tak punya pilihan, selain bergantung pada bantuan teman-teman dan mitra internasional.
Saya menjabat presiden Timor Leste sejak hari kemerdekaan hingga 2007, sebelum beralih menjadi PM. Sepanjang waktu itu, energi kami banyak terkuras ke dalam perundingan kompleks dengan Australia. Dalam perundingan, kami berupaya menyepakati akses sumber gas alam dan minyak bumi di celah timur pada kawasan Laut Timor.
Garis yang memisahkan Timor Leste dan Australia tak juga diterima Negeri Kanguru sebagai zona perbatasan. Karena itulah kami tak memiliki perbatasan yang dikenali dan disepakati sebagai perbatasan antara Australia dan Timor Leste. Ini berdampak pada masalah keamanan dan komersial bagi kedua negara.
Perundingan masih berlanjut. Meski bukan lagi seorang PM, saya akan berusaha memperjuangkan kedaulatan Timor Leste sebagai suatu negara. Kami akan terus memperjuangkan perbatasan maritim sesuai hukum internasional. Karena hanya dengan cara ini, kedaulatan Timor Leste akan terjamin.
Delapan tahun adalah waktu yang lama di posisi puncak. Kini, saya bangga lantaran masih sanggup melanjutkan pengabdian bagi Timor Leste sebagai Menteri Perencanaan dan Investasi Strategis. Saya berharap dapat mewujudkan rencana strategis demi mengubah wajah Timor Leste, menjadi negara dengan masyarakat yang sehat, berpendidikan baik, dan sejahtera.
Xanana Gusmao adalah mantan Presiden (2002-2007) dan Perdana Menteri (2007-2015) Timor Leste. Ia kini menjabat Menteri Perencanaan dan Investasi Strategis.